Jakarta — Bank Dunia atau World Bank menilai sistem keuangan Indonesia akan tetap tangguh menghadapi gejolak perekonomian global. Terutama dalam menghadapi imbas dari terus berlanjutnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang suka tidak suka bakal memengaruhi perekonomian nasional.
Akan tetapi, ada catatan penting dari World Bank untuk otoritas keuangan di Tanah Air agar segera mengambil kebijakan.
Dalam laporannya berjudul Global Economic Risks and Implications for Indonesia, yang dirilis pada September 2019, World Bank menyoroti dua area sistem keuangan yang sangat perlu untuk diperbaiki.
Pertama, adalah bagaimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meningkatkan pengawasannya terhadap konglomerasi di sektor keuangan. Di Indonesia, konglomerasi ini bahkan mengambil pengsa aset industri perbankan hingga 88 persen.
World Bank menilai gap antara regulasi dan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan cukup lebar. Hal ini berkaitan dengan pengawasan terintegrasi yang belum cukup kuat dan belum mencakup pengawasan secara holding.
Untuk memaksimalkan pengawasan konglomerasi keuangan, World Bank melihat OJK perlu menyesuaikan aturan, serta pengawasan terhadap proses penilaian risiko lintas sektor. World Bank juga menyarankan OJK untuk merevisi aturan, dan membentuk satu tim yang khusus mengawasi risiko dari konglomerasi keuangan ini.
World Bank bahkan menganjurkan untuk mengamandemen Undang-undang OJK dengan catatan menghilangkan tanggung jawab Komisioner secara individu terhadap spesifik sektor, dan memasukkan perusahaan-perusahaan holding (dari konglomerasi) ke dalam ruang pengaturan OJK.
Area kedua yang menjadi sorotan adalah mempertahankan kredibilitas sistem keuangan dengan memperbaiki kelemahan di sektor asuransi. World Bank menggarisbawahi masalah yang menimpa dua asuransi jiwa nasional terbesar, yakni Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Asuransi Jiwasraya, yang belum mampu memenuhi kewajibannya.
Bukan persoalan sepele, mengingat kedua asuransi tersebut memiliki sekitar 7 juta orang nasabah dengan lebih dari 18 juta polis, di mana mayoritasnya merupakan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
“Perusahaan-perusahaan tersebut bisa menjadi tidak likuid dan memerlukan penanganan segera,” tulis laporan World Bank.
Adapun langkah yang bisa diambil otoritas sesuai saran World Bank adalah dengan melakukan penilaian mendetil terhadap gap aktuaria. Dan berdasarkan penilaian tersebut bisa mengambil kebijakan recovery atau resolusi.
Tak bisa dimungkiri, kenyataan sektor keuangan Indonesia yang masih kecil, mahal dan mudah terekspos risiko global dinilai World Bank memerlukan berbagai reformasi penting untuk menjawab kelemahan struktural. Sehingga sektor keuangan di Tanah Air bisa lebih dalam, lebih efisien dan lebih tahan goncangan.
“Sektor keuangan memainkan peranan sangat penting untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tulis laporan World Bank. (*)
Poin Penting 1,56 juta kendaraan meninggalkan Jabotabek selama H-7 hingga H+1 Natal 2025, naik 16,21… Read More
Poin Penting Sebanyak 36 dari 38 provinsi telah menetapkan UMP 2026, sesuai PP 49/2025 yang… Read More
Poin Penting Pemerintah memastikan formulasi UMP 2026 telah memasukkan indikator ekonomi seperti inflasi, indeks alfa,… Read More
Poin Penting Modal asing masuk Rp3,98 triliun pada 22–23 Desember 2025, dengan beli bersih di… Read More
Poin Penting Harga emas Galeri24, UBS, dan Antam kompak naik pada perdagangan Sabtu, 27 Desember… Read More
Poin Penting Menurut Asuransi Jasindo mobilitas tinggi memicu potensi kecelakaan dan kejahatan, sehingga perlindungan risiko… Read More