Jakarta – CIMB Niaga Syariah adalah contoh nyata bagaimana bank konvensional dapat mengembangkan unit usaha syariah (UUS) yang mampu bersaing dan memberikan kontribusi signifikan terhadap industri perbankan syariah.
CIMB Niaga Syariah yang merupakan UUS dari Bank CIMB Niaga terus mencatatkan peningkatan aset yang signifikan. Per Maret 2023 aset Bank CIMB Niaga Syariah naik 16,20% menjadi Rp64,23 triliun. Aset CIMB Niaga Syariah bahkan sudah menyalip aset Bank Muamalat sejak 2021.
Pada 2021, aset CIMB Niaga Syariah tercatat Rp59,25 triliun, naik 32,31% secara tahunan dari 2020 yang tercatat. Jumlah tersebut lebih tinggi dari aset Bank Muamalat yang tumbuh 14,94% menjadi Rp58,89 triliun.
“Pertumbuhan aset CIMB Niaga diharapkan akan mencapai sedikitnya Rp70 triliun di 2023. Pertumbuhan ini akan disumbangkan melalui pertumbuhan asset financing, dengan porsi segmen korporasi dan consumer yang menyumbang kenaikan terbesar,” ungkap Direktur Syariah Banking CIMB Niaga, Pandji P. Djajanegara, kepada Infobank 8 Juni 2023.
Pertumbuhan aset UUS CIMB Niaga menunjukkan bahwa UUS juga mampu menghasilkan kinerja yang kuat dan menjadi pilihan yang menarik bagi nasabah yang mencari solusi keuangan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Hal ini juga membuktikan bahwa kemajuan industri perbankan syariah di Indonesia tidak hanya terbatas pada spin-off UUS menjadi BUS. Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir, aset UUS telah menunjukkan pertumbuhan yang kencang.
Berdasarkan data Biro Riset Infobank, dalam tiga tahun terakhir sejak 2020 hingga 2022, aset UUS telah tumbuh 27,11% dari Rp196,88 triliun menjadi Rp250,24 triliun. Sementara per Maret 2023, asetnya naik 11,49% menjadi Rp253,68 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Per Maret 2023 ada 20 bank umum yang menggarap segmen syariah melalui UUS dengan total 453 kantor cabang. 11 Bank merupakan unit usaha dari bank pembangunan daerah (BPD) dan 1 UUS milik bank BUMN dan delapan lainnya dari bank swasta, termasuk satu dari bank digital.
Menurut catatan Infobank Institute ada beberapa hal UUS lebih menguntungkan. Satu, daya tahan modal lebih kuat dengan konsolidasi bank induknya. Modal menjadi penting untuk menghadapi gejolak perbankan. Langkah spin-off hanya menghasilkan bank-bank dengan modal cekak. Saat ini ada 21 UUS yang ukurannya kecil-kecil. Jelas ini berlawanan dengan konsolidasi perbankan dengan Kelompok Bank Modal Inti (KBMI) yang paling kecil Rp6 triliun.
Dua, sisi model bisnis dapat memberikan kapasitas pelayanan yang lebih luas dengan produk beragam kepada masyarakat. Bayangkan, jika UUS menjadi BUS tentu terbatas dan tentu perlu investment grade yang berbeda dari sebelumnya.
Tiga, service level dan pricing model UUS yang setara dengan induk, sehingga nasabah tetap merasakan customer experience dengan standar yang sama. Spin-off akan berdampak pada service level dan pricing model. Dipastikan pricing akan lebih mahal karena aspek sumber dana.
Empat, pemanfaatan jaringan yang luas dari induknya tentu akan mengakselerasi edukasi dan literasi keuangan syariah dengan dukungan dan coverage dari bank induknya. Misalnya, program promosi dan branding tentu lebih masih dengan induknya. Lebih penting dari itu, UUS akan lebih bisa mengedukasi nasabah rasional yang dapat mempercepat literasi dan edukasi perbankan syariah.
Lima, soal likuiditas tentu UUS yang ada pada industri saat ini dapat memperoleh likuiditas dari induknya. Bahkan, dapat menjadi counterparty dari BUS — hingga KBMI 3. Sedangkan pasca spin-off mayoritas BUS hasil spin-off akan tergolong kepada KBMI 1 (modal di bawah Rp 6 triliun), tentu ini dan akan kesulitan dalam mendapatkan pendanaan (likuiditas).
Enam, dengan dukungan dari bank induk, UUS terbukti mempercepat pertumbuhan UUS, terutama pada aspek infrastruktur IT, Sumber Daya Manusia (SDM), jaringan cabang dan ATM dan kealian bank induk. Sudah tentu ini akan lebih berat jika dipaksakan menjadi BUS.
Tujuh, dari perspektif pemegang saham untuk apa menanamkan modalnya di dua entitas terpisah pada industri yang sama. Apalagi, investor selalu melihat size of business dimana BUS hasil spin-off kecil-kecil.
Delapan, dari sisi bisnis atau pencapaian kinerja keuangan. Justru, UUS selama lima tahun terakhir ini menghasilkan kualitas pertumbuhan dan rasio-rasio keuangan yang lebih baik. Tentu tidak mudah mempertahankan kualitas kinerja ini.
Sembilan, spin-off bertolak belakang dengan konsolidasi yang digaungkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperkuat modal dan bukan menambah jumlah bank. Hal ini akan menimbulkan masalah pengawasan tersendiri di tengah perubahan pasar perbankan dan tantangan yang lebih berat akibat perubahan teknologi.
Sepuluh, Best Practice Benchmarks Negara dengan pangsa pasar perbankan syariah tinggi masih memperbolehkan BUS untuk tetap menjalankan UUS-nya (windows), tanpa adanya kewajiban spin-off. Faktanya, kinerja dan pangsa pasar industri keuangan syariahnya dapat terus tumbuh pesat dan sehat. (*) Dicky F.
Jakarta - Raksasa teknologi asal Tiongkok, Huawei, merilis tablet terbaru, HUAWEI MatePad Pro 12.2 pada… Read More
Jakarta - Jejak investor asal Thailand di pasar keuangan Indonesia sudah cukup panjang. Lebih dari… Read More
Jakarta - PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) secara resmi meluncurkan program Makan Bergizi Gratis… Read More
Bandung - PT Geo Dipa Energi (Persero) atau Geo Dipa, salah satu badan usaha milik… Read More
Jakarta - Pada pembukaan perdagangan pagi ini pukul 9.00 WIB (8/11), Indeks Harga Saham Gabungan… Read More
Jakarta - MNC Sekuritas melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara teknikal pada hari… Read More