Jakarta – Amerika Serikat (AS) dikabarkan akan terancam default atau gagal bayar. Hal ini menambah krisis ekonomi AS yakni krisis gagal bayar utang dan ancaman resesi ekonomi yang semakin terlihat.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi ini harus menjadi warning bagi ekonomi negara berkembang seperti Indonesia. Di mana AS merupakan mitra dagang yang penting dalam hubungan manufaktur Indonesia, selain China, Jepang, dan India.
“Kinerja ekspor yang berpengaruh dari ancaman resesi di AS terdiri dari ekspor pakaian jadi, alas kaki, produk olahan karet, CPO, furnitur, produk perikanan, barang dari kulit,” ujar Bhima saat dihubungi Infobanknews, Selasa, 2 Mei 2023.
Bila dirinci, sepanjang tahun 2017 – 2021 ekspor pakaian jadi sudah menurun -3% ke pasar AS, alas kaki -1%, dan barang dari kulit -3%. Bhima menambahkan, bagaimana pun juga AS adalah mitra ekspor tradisional dengan porsi sebesar 9,2% sepanjang Januari 2023 – Maret 2023.
“Kondisi penurunan permintaan ekspor bisa sebabkan PHK massal meluas sepanjang 2023, tidak hanya di sektor manufaktur tapi juga basis komoditas perkebunan dan tambang,” jelasnya.
Selain ekspor, akan juga berdampak pada realisasi investasi dari AS bisa terganggu karena investor akan inward looking. Bhima memberi contoh, seperti kesepakatan dengan Tesla misalnya soal pengembangan baterai dan kendaraan listrik mungkin terkendala.
Dari segi keuangan, ancaman resesi bisa mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah dan berisiko meningkatkan suku bunga di sisa tahun 2023. Soal dampak kenaikan suku bunga ini tidak bisa diremehkan. Masalah utang berisiko memicu krisis sistemik global paska pandemi.
“Situasi risiko utang juga perlu dicermati untuk kondisi Indonesia dimana porsi utang saat ini 88% lebih bentuknya SBN (Surat Berharga Negara) yang artinya tergantung pada bunga pasar,” kata Bhima.
Selanjutnya, tren inflasi dan kenaikan suku bunga bisa membuat beban bunga utang naik signifikan sementara upaya untuk melakukan pengurangan beban utang menjadi sulit.
“Di tahun 2023 saja tren bunga utang mencapai Rp441 triliun atau setara 21,8% target penerimaan perpajakan ditahun yang sama. Beban utang ini sudah kelewat berat,” tegas Bhima.
Dengan kondisi tersebut, kata Bhima, Indonesia bisa manfaatkan fasilitas debt swap (pertukaran utang dengan program) dan debt suspenssion (penangguhan bunga utang) meskipun hanya bisa berfungsi dengan kreditur non SBN.
Selanjutnya, manajemen risiko fiskal juga menjadi rumit karena beberapa proyek yang sebelumnya murni pengerjaan BUMN mulai dibebankan ke APBN baik melalui PMN maupun penjaminan salah satunya kereta cepat.
“Pemerintah harus cari jalan keluar dengan turunkan ambisi berutang demi mega proyek yang secara ekonomis tidak layak. Selain itu porsi SBN dari total utang pemerintah sebaiknya dikurangi dengan peningkatan rasio pajak dan pengendalian belanja,” ungkap Bhima. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra
Jakarta - Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang… Read More
Suasana saat konferensi pers saat peluncuran Asuransi Mandiri Masa Depan Sejahtera di Jakarta. Presiden Direktur… Read More
Jakarta - PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Timur (Bank NTT) resmi menandatangani nota… Read More
Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 tercatat sebesar 4,95 persen, sedikit melambat dibandingkan kuartal… Read More
Jakarta - Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) terus berkomitmen mendukung pengembangan Energi Baru… Read More
Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan biaya pendidikan yang signifikan setiap tahun, dengan… Read More