Jakarta – Negosiasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China mulai menemui angin segar. Kedua negara tersebut sepakat untuk menurunkan tarif secara timbal balik dalam jangka waktu 90 hari.
Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi mengatakan bahwa kesepakatan ini sebagai upaya meredakan ketegangan dagang yang telah berlangsung bertahun-tahun dan memberikan sinyal positif bagi perekonomian dunia.
Badiul mengungkapkan, dengan meredanya perang dagang antara AS dan China akan memberikan dampak positif bagi Indonesia, terutama volume perdagangan yang meningkat.
“Akibatnya kebutuhan barang subtitusi dari negara ketiga seperti Indonesia bisa menurun dalam jangka pendek. Produk-produk Indonesia yang selama ini masuk AS dan China sebagai alternatif bisa mengalami penurunan permintaan,” ujar Badiul kepada Infobanknews, Rabu, 14 Mei 2025.
Baca juga: Analis Sebut Meredanya Tensi Perang Dagang AS-China Jadi Katalis Positif IHSG
Selain itu, kesepakatan tersebut juga bisa mengurangi gangguan rantai pasok global terutama produk elektronik, tekstil dan otomotif yang terdampak langsung perang dagang.
“Tapi ini bisa berdampak positif bagi industri manufaktur Indonesia yang bergantung pada bahan baku atau komponen dari China dan AS,” jelasnya.
Pada sektor ekstraktif, perbaikan hubungan China dan AS bisa berdampak pada kenaikan komoditas global seperti batubara, crude palm oil (CPO), sawit dan karet yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia. Namun, tambah Badiul, jika kenaikan komoditas tersebut terlalu cepat, maka bisa berdampak negatif terhadap inflasi domestik.
Selanjutnya, dari sisi sektor pasar keuangan, kesepakatan ini bisa meningkatkan sentimen di pasar keuangan, sehingga bisa meningkatkan arus modal masuk ke negara berkembang seperti Indonesia.
“Setidaknya rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa menguat jika respons investor global positif,” pungkasnya.
Dampak ke Ekonomi RI
Sementara itu, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan terlalu signifikan. Belajar dari pengalaman dan simulasi kebijakan saat perang dagang di tahun 2018-2020 dampaknya sangat kecil terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) RI, yakni hanya sekitar 0,05-0,1 persen.
“Hal ini dikarenakan ekspor Indonesia ke AS dan China dalam konteks barang subtitusi relatif kecil dan pertumbuhan PDB Indonesia selama ini ditopang oleh konsumsi domestik yang angkanya mencapai lebih dari 50 persen terhadap PDB,” tandasnya.
Badiul pun mengungkapkan bahwa dalam jangka menengah kesepakatan taif dagang AS dan China akan mengurangi ketidakpastian global yang akan berimbas pada nilai tukar rupiah akan menguat dan tekanan impor menurun. Kemudian, arus investasi asing, misalnya Foreign Direct Investment (FDI) serta portofolio bisa masuk untuk mendorong sektor keuangan dan infrastruktur.
Baca juga: Ekonom Permata Bank Prediksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2025 Hanya 4,5-5 Persen, Ini Sebabnya
Meski begitu, Badiul menggaris bawahi bahwa terdapat dampak tidak langsung terhadap sentimen pasar, investasi, dan harga komoditas yang bisa menimbulkan efek multiplier terhadap perekonomian, sehingga perlu dimanfaatkan dengan baik peluang dari redanya ketegangan antara AS-China.
“Yang tidak kalah penting, pada ketahanan domestik dan kecepatan Indonesia merespons peluang dari stabilisasi hubungan dagang global. Pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas dalam tata kelola keuangan sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan investor swasta dan asing,” pungkasnya. (*)
Editor: Galih Pratama