Anggota G20 Sepakat Perang Hambat Pemulihan Ekonomi

Anggota G20 Sepakat Perang Hambat Pemulihan Ekonomi

Jakarta – Pada (20/04) lalu, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara G20 melaksanakan pertemuan G20 yang kedua. Dalam kesempatan tersebut, anggota G20 menyatakan keprihatinan mendalam tentang krisis kemanusiaan dan dampak ekonomi akibat perang.

Anggota sepakat bahwa perang dan tindakan yang menyertainya telah dan akan semakin menghambat proses pemulihan global, di mana negara-negara berpenghasilan rendah dan rentan akan paling terpengaruh. Hal ini dikarenakan negara tersebut masih menghadapi tantangan lain yang belum selesai seperti akses vaksin yang terbatas, ruang fiskal yang sempit, dan kerentanan utang yang tinggi.

“Anggota G20 menekankan peran krusial G20 sebagai forum kerja sama ekonomi internasional, untuk mengatasi tantangan ekonomi dunia yang kompleks. Maka dari itu, para anggota juga mendukung langkah penyesuaian terhadap agenda yang tengah berjalan guna menanggulangi dampak ekonomi dari perang, sambil tetap menjaga komitmen untuk mencari solusi bagi tantangan global yang telah berlangsung lama agar dunia pulih kembali dengan kuat secara berkelanjutan, inklusif, dengan pertumbuhan yang seimbang,” jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dikutip 21 April 2022.

Selain itu, anggota G20 menyampaikan kekhawatiran tentang tekanan inflasi yang lebih luas dan persisten. Kondisi ini akan menyebabkan beberapa bank sentral menaikkan kebijakan suku bunga mereka yang pada gilirannya akan mengakibatkan pengetatan likuiditas global yang lebih cepat dari perkiraan.

G20 menyatakan pentingnya memenuhi komitmen pada bulan Februari mengenai strategi keluar yang terkalibrasi, terencana, dan dikomunikasikan dengan baik untuk mendukung pemulihan dan mengurangi potensi limpahan (spillover). Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menegaskan bahwa hal ini adalah salah satu peran penting G20 untuk membawa kebijakan ke ranah dunia.

“Setiap negara tidak lagi hanya berfokus pada dampak kebijakan secara domestik di negaranya, namun lebih luas terhadap proses pemulihan di negara lainnya. Dengan demikian, proses normalisasi kebijakan yang dilakukan secara well callibrated, well planned, dan well commmunicated oleh bank sentral menjadi semakin terfasilitasi terutama di kondisi saat ini, lanjut Gubernur BI Perry Warjiyo.

Konflik geopolitik telah membuat pertumbuhan dan pemulihan global jauh lebih kompleks. Hal ini berpotensi melemahkan upaya dalam mengatasi tantangan ekonomi global yang sudah ada sebelumnya, termasuk kesehatan, kesiapsiagaan dan respons pandemi, utang yang tinggi di negara-negara rentan, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Perang juga mengakibatkan krisis kemanusiaan dan meningkatkan harga komoditas seperti energi dan pangan.

Pada agenda kesehatan global, disepakati bahwa tindakan kolektif dan terkoordinasi untuk mengendalikan pandemi tetap menjadi prioritas. Anggota G20 mencatat peningkatan angka COVID-19 di beberapa wilayah telah menghambat pertumbuhan, mendisrupsi rantai pasok, dan meningkatkan inflasi, serta memperlambat pemulihan global. Dalam hal ini, berdasarkan penilaian WHO dan World Bank, terdapat kesenjangan pembiayaan signifikan yang perlu ditangani.

G20 telah mencapai konsensus untuk mengatasi kesenjangan tersebut melalui pembentukan mekanisme keuangan baru yang didedikasikan untuk mengatasi kesenjangan pembiayaan untuk kesiapsiagaan, pencegahan dan tindakan terhadap pandemi. Dana Perantara Keuangan (FIF) yang ditempatkan di World Bank adalah opsi paling efektif untuk mekanisme keuangan baru.

Dalam hal ini, untuk memulai proses mendirikan FIF, Presidensi Indonesia perlu mengawal diskusi seputar isu tata kelola dan pengaturan operasional. Presidensi Indonesia menargetkan mekanisme keuangan baru tersebut dapat terselesaikan sebelum pertemuan tingkat Menteri Kesehatan G20 di bulan Juni. Ini akan menjadi salah satu manfaat nyata dari Presidensi G20 Indonesia, sesuai arahan Presiden Joko Widodo. (*)

 

Editor: Rezkiana Nisaputra

Related Posts

News Update

Top News