ORGANISASI Negara-Negara Pengekspor Minyak (Organization of The Petroleum Exporting Countries/OPEC) baru saja merilis laporan bulanan terbarunya untuk Bulan Agustus 2022. Dalam laporan tersebut, OPEC kembali merevisi proyeksinya dengan menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi di 2022 dari semula 3,5 persen menjadi hanya 3,1 persen saja hingga akhir tahun.
Ini adalah revisi yang ketiga kalinya dilakukan sejak April 2022 lalu, di mana OPEC sebelumnya malah sempat memproyeksikan porsi pertumbuhan ekonomi 2022 pada level 3,9 persen. Namun kemudian dengan berbagai perkembangan yang terjadi di level global, deretan proyeksi tersebut dinilai makin berat untuk dicapai, sehingga perlu direvisi.
Dalam pertimbangannya, OPEC melihat panasnya geopolitik global yang belum akan mereda dalam waktu dekat seiring perang Rusia dan Ukraina yang terus berjalan dan belum menunjukkan tanda-tanda bakal berakhir. Dengan mempertimbangkan positioning kedua negara dalam peta produksi gas dan juga minyak bumi serta pasokan gandum dunia, kondisi saat ini jelas memicu gangguan terhadap suplai tiga komoditas tersebut.
Hal ini belum lagi memperhitungkan berbagai sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa terhadap Rusia, yang diharapkan dapat membuat aktivitas ekonomi Negeri Beruang Merah terisolir sehingga membuatnya jera, namun terbukti justru memperkeruh keadaan dengan munculnya sejumlah dampak turunan (dominos effect) terhadap perekonomian dunia secara keseluruhan.
Dengan segala hambatan tersebut, tak heran bila kemudian harga barang-barang kebutuhan masyarakat meroket, sehingga memantik kenaikan inflasi di berbagai negara. Guna menahan tren tersebut, bank sentral di sejumlah negara pun menaikkan suku bunga, dengan berharap likuiditas yang berlebih di pasar dapat diserap, sehingga inflasi bisa melandai. Namun, tingginya suku bunga malah membuat geliat perekonomian melambat.
Pertumbuhan pun semakin tipis, dengan tekanan inflasi yang masih tetap tinggi. Sebagian ekonom menyebutnya dengan istilah stagflasi, yaitu kondisi pertumbuhan ekonomi yang stuck di tengah tingginya inflasi. AS dan Inggris sudah menjadi korban. Turki bahkan merasakan kondisi tersebut beberapa waktu sebelumnya. Kini, dunia bahkan seolah tengah menghitung hari sambil menerka-nerka, siapa lagi korban setelah ini?
Asia Tenggara
Namun, dengan telah melihat muramnya situasi perekonomian global tadi, pandangan sepertinya bakal berubah bila kita melihat kondisi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Tak terkecuali di Indonesia. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto, dengan jemawa menyebut bahwa peluang Indonesia untuk terperosok masuk ke jurang resesi sangat kecil, yaitu hanya tiga persen saja.
Memang terdengar congkak, namun klaim tersebut bukannya tak berdasar. Dengan catatan pertumbuhan ekonomi triwulan II-2022 yang mencapai 5,44 persen, posisi Indonesia memang masih demikian jauh dari kategori resesi ekonomi. Tak sekadar jauh, berbagai indikator ekonomi bahkan menunjukkan kondisi Indonesia saat ini masih lebih baik dibanding saat sejumlah krisis yang pernah terjadi.
“Misal dibanding saat krisis subprime 2008 lalu dan taper tantrum 2013 lalu, indikator ketahanan ekonomi nasional saat ini harus diakui jauh lebih baik. Dari segi cadangan devisi saja, misalnya, (kondisi saat ini) cukup gemuk, yaitu mencapai US$132 miliar per Juli 2022,” ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, kepada media, Rabu (10/8) lalu.
Sedangkan menurut CEIC Leading Indicator, kondisi keuangan moneter, pasar tenaga kerja dan juga kinerja industri, perekonomian Indonesia diyakini masih memiliki ruang untuk penguatan, alih-alih tertekan oleh kenaikan inflasi dan bayang-bayang resesi. Atas dasar itu, pemerintah bahkan kini tengah bersiap agar pertumbuhan ekonomi nasional dapat ditargetkan mencapai kisaran 5,3 persen hingga 5,9 persen di tahun depan.
“Proyeksi pertumbuhan ekonomi kita di 2022 masih optimistis di level 5,2 persen, dan diharapkan tahun depan bisa meningkat ke level 5,3 persen hingga 5,9 persen,” ujar Menko Airlangga.
Optimisme tingkat tinggi pemerintah itu diamini oleh Ekonom Bank BCA, David Sumual. Menurut David, indikator makro ekonomi saat ini memang menempatkan Indonesia pada level yang lebih tinggi dibanding negara-negara yang rentan terhadap ancaman resesi. Karenanya, harus diakui bahwa memang probabilitas Indonesia mengalami resesi memang sangatlah kecil.
“Posisi utang kita memang ada peningkatan, terutama utang pemerintah. Tapi jangan lupa Indonesia juga mendapatkan windfall profit yang cukup tebal dari (kenaikan harga) komoditas. Ini blessing in disguise saat negara-negara lain bermasalah karena kenaikan harga komoditas, kita justru dapat extra (pemasukan) dari sana,” ungkap David.
Selain itu, menurut David, kinerja perekonomian nasional selama ini lebih bersandar pada geliat ekonomi domestik, sehingga hal itu secara otomatis menjadi benteng kokoh perekonomian Indonesia dari kondisi yang tengah terjadi di level global. Bahkan bila pemerintah jeli dan cerdik, David menyebut bahwa kondisi saat ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan substitusi ketergantungan impor.
“Size domestic economy kita itu besar sekali. Sedikitnya 60 persen ekonomi kita ditopang dari domestik, sehingga tidak perlu khawatir saat di luar ada resesi atau bahkan stagflasi global karena kita lebih bergantungnya pada geliat ekonomi domestik. Justru ini kesempatan untuk substitute. Kalau ada barang impor yang sulit didapat, ini peluang untuk domestic product ambil opportunity,” tutur David.
Tak Sendiri
Namun berbicara ekonomi kawasan, Indonesia rupanya bukan satu-satunya yang berada di posisi aman dari ancaman resesi. Ada nama Vietnam dan Filipina yang justru catatan pertumbuhan ekonomi jauh di atas Indonesia.
Di wilayah Asia Tenggara, perekonomian Vietnam kini justru menjadi salah satu yang terdepan dengan pertumbuhan ekonominya di triwulan II-2022 bahkan mencapai 7,72 persen. Di tengah perekonomian global yang sedang tertekan, ekonomi Vietnam justru semakin solid dengan surplus 5,05 persen dibanding triwulan II=2021, dan bahkan menjadi paling solid sejak 2011 silam.
Dengan memanfaatkan posisinya sebagai pusat manufaktur regional, Vietnam cukup percaya diri dengan mencabut aturan pembatasan COVID-19 sejak akhir tahun 2021, sehingga memungkinkan pabrik-pabriknya dapat beroperasi penuh dan maksimal. Hal ini kemampuan produksi industrinya meningkat 8,7 persen pada periode semester I-2022, yang mendongkrak kinerja ekspor tumbuh hingga 17,3 persen pada periode yang sama. Indeks Harga Konsumen (IHK) per Juni Vietnam melesat 3,37 persen dipicu oleh melonjaknya biaya makanan dan energy. Sedangkan biaya transportasi juga meningkat hingga 21,4 persen dari periode sama tahun sebelumnya, seiring geliat pergerakan ekonomi yang juga melonjak tajam.
Di bawah Vietnam, juga ada Filipina yang perekonomiannya tumbuh di atas level tujuh persen, tepatnya sebesar 7,4 persen secara tahunan (year on year/yoy). Capaian tersebut bahkan terhitung merosot disbanding triwulan I/2022, di mana Filipina bahkan mampu tumbuh hingga 8,15 persen, meninggalkan negara-negara tetangganya di kawasan.
Sebagaimana dilansir Xinhua, Rabu (10/8), moncernya perekonomian Filipina disebabkan oleh kebijakan pelonggaran pembatasan mobilitas COVID-19 yang memungkinkan masyarakat beraktivitas lebih banyak, sehingga mendorong perekonomian lebih berkembang. Menurut data dari Philippine Statistics Authority (PSA), atau Badan Pusat Statistik(BPS)nya Filipina, tingginya Produk Domestik Bruto (PDB) di negara tersebut terutama ditopang oleh aktivitas perdagangan besar dan eceran, konstruksi, serta transportasi dan pergudangan.
Sedangkan geliat kinerja pertanian, kehutanan, perikanan serta industri dan jasa menjadi sektor-sektor ekonomi yang paling berkontribusi, di mana semuanya sukses tumbuh positif di triwulan II-2022. Sementara aktivitas ekonomi di masyarakat yang bergerak maksimal membuat pengeluaran konsumsi rumah tangga tumbuh hingga 8,6 persen, Tak ketinggalan, konsumsi pemerintah juga meningkat hingga 11,1 persen. Di lain pihak, kinerja ekspor dan impor untuk barang dan jasa sama-sama tumbuh, masing-masing sebesar 4,3 persen dan 13,6 persen.
“Melonggarkan pembatasan pandemi dengan mitigasi risiko secara ketat, mempercepat penyebaran vaksin dan pencabutan pembatasan pariwisata. Semua kami lakukan untuk menghidupkan kembali penciptaan lapangan kerja dan mengurangi tingkat kemiskinan,” kata Sekretaris Perencanaan Sosial Ekonomi Filipina, Arsenio Balisacan.
Tak Mau Ketinggalan
Last but not least, Malaysia menjadi negara Asia Tenggara yang kesekian yang mampu show off di tengah dinamika dan volatilitas perekonomian global yang terjadi saat ini. Bila Vietnam dan Filipina dengan mantab mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas level tujuh persen, Malaysia bahkan mampu membukukan pertumbuhan ekonomi hingga 8,9 persen pada triwulan II-2022. Capaian tersebut melompat cukup tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2022 yang ‘masih’ sebesar lima persen.
Menurut Bank Negara Malaysia (BNM), bank sentralnya Malaysia, pertumbuhan besar tersebut ditopang oleh meningkatnya permintaan domestik dan pemulihan kondisi pasar tenaga kerja yang semakin stabil pasca pandemi COVID-19. Kondisi ini terjadi seiring kebijakan keberlanjutan dari Pemerintah Malaysia yang terus berupaya mendorong perubahan kondisi pandemi menjadi endemi.
“Salah satunya dengan membuka kembali perbatasan internasional,” ujar Gubernur Bank Negara Malaysia (BNM), Nor Shamsiah, dalam keterangan resminya, Jumat (12/8).
Dengan pembukaan perbatasan tersebut, menurut Nor, kinerja ekspor juga menjadi maksimal dengan didukung oleh permintaan yang kuat terhadap produk listrik dan elektronik. Sedangkan secara sektoral, industri jasa dan manufaktur menjadi lokomotif pertumbuhan, sehingga kinerja perekonomian Malaysia bergeliat lebih maksimal.
Praktis sederetan catatan tersebut sukses mengantarkan Malaysia masuk ke dalam deretan negara-negara Asia Tenggara yang sangat kokoh dalam menghadapi ancaman resesi dan stagflasi global. Dengan adanya empat negara ASEAN yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi meyakinkan, yaitu Indonesia, Vietnam, Filipina dan Malaysia, bisa dianggap sebagai refreshment setelah selama ini perekonomian kawasan cukup didominasi oleh Singapura, yang sayangnya saat ini justru tengah was-was dengan tren perekonomiannya yang melambat.
Meski demikian, dengan adanya kuartet kekuatan perekonomian Asia Tenggara ini, bisa pula dianggap bumper atau benteng tangguh di kawasan dalam menghadapi ancaman resesi hingga stagflasi global. Sebuah kekuatan yang bila disinergikan bersama, dapat menjadi energi besar di wilayah regional agar risiko buruk yang tengah mengintai dunia, terutama di kawasan Amerika dan Uni Eropa, dapat ditanggulangi dan dimitigasi dengan baik di kawasan Asia Tenggara. Dengan begitu, masyarakat tak perlu cemas dan lebih bisa fokus dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19. Semoga. (*) TAF
Jakarta – Dari 1.057 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang ada di Indonesia, hampir separuhnya… Read More
Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group HIDUP makin berat. Awal 2025 semuanya menjadi… Read More
Direktur Utama PT Jasaraharja Putera Bapak Abdul Haris, memaparkan kinerja JRP Insurance sepanjang tahun 2024… Read More
Hadirnya Fitur Cardless Withdrawal memberikan kemudahan bagi nasabah BRI maupun bank lain yang terintegrasi dengan… Read More
Jakarta - Sinar Mas Land melalui anak perusahaannya, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), secara… Read More
Jakarta – Rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk sekolah internasional, mulai Januari… Read More