Payment Banking Diterjang Fintech

Payment Banking Diterjang Fintech

Perbankan masih menguasai bisnis pembayaran. Namun, separuh dari financial technology bermain di bidang pembayaran dan bisa menerjang instrumen pembayaran ritel perbankan.

Oleh : Karnoto Mohammad

Jakarta – Efisiensi menjadi “energi” bank-bank ke depan karena net interest margin (NIM) sulit dipatok tinggi, mengingat tren suku bunga kredit menurun. Selain efisiensi, bank-bank harus berusaha memperkaya pendapatannya dengan fee dari jasa-jasa transaksi keuangan dan pembayaran.

Saat ini sekitar 75% pendapatan perbankan disumbang oleh pendapatan bunga. Agar tidak terdisrupsi oleh revolusi digital, bank-bank harus melakukan transformasi maupun inovasi karena kue bisnisnya mulai diterjang lembaga nonbank yang menyediakan layanan keuangan dan pembayaran berbasis aplikasi digital atau populer disebut financial technology (fintech). Industri perbankan masih menguasai penghimpunan dana masyarakat, pembiayaan, dan pembayaran. Biro Riset Infobank (birI) memperkirakan, sampai dengan akhir 2017, bank umum di Indonesia mampu menghimpun dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp5.393 triliun dengan kucuran kredit mencapai Rp4.883 triliun.

Begitu pula dari sisi penguasaan bisnis pembayaran. Tahun lalu nilai nominal transaksi kartu automatic teller machine (ATM)/debit, kartu kredit, dan uang elektronik mencapai Rp5.911 triliun dengan volume transaksi mencapai 6.185 miliar transaksi. Pangsa fintech masih kecil. Apabila pendanaan individu yang disalurkan fintech pada 2017 sebesar US$20 juta atau sekitar Rp266 miliar, pangsanya baru sekitar 5%. Pangsa pasar fintech terhadap perbankan di bisnis pembayaran elektronik pun baru 4,17%.

Kendati nilai transaksinya masih kecil, solusi keuangan yang ditawarkan fintech beririsan langsung dengan jasa keuangan yang ditawarkan perbankan, seperti pembayaran, pinjaman, pendanaan personal, dan aggregator. Menurut data Statista, estimasi nilai industri fintech di Indonesia pada 2017 mencapai US$18,64 miliar. Sedangkan, rata-rata pertumbuhan nilai transaksi fintech pada 2015 hingga 2021 berada di kisaran 20% per tahun.

Itu adalah level pertumbuhan kredit perbankan sebelum 2014 yang rata-rata mencapai 20% per tahun, yang kemudian menjadi 8%-9% per tahun pada periode 2015 sampai dengan 2018. Tren tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan fintech yang lebih besar daripada perbankan akan membuat pangsa pasar fintech dalam jasa keuangan makin meningkat ke depan.

Fintech memiliki medan permainan yang berbeda dengan perbankan. Perbankan menghadapi aturan yang ketat, bersifat konservatif, operasionalnya kompleks, dan prosedural. Sementara, fintech belum diatur, bersifat eksperimental, operasionalnya simpel, dan prosesnya cepat. Perilaku generasi millennial yang bersifat eksperimental dan ingin mencoba hal-hal baru menjadi target pasar fintech.

Umumnya masyarakat sangat memercayai kegiatan transaksinya dengan bank. Namun, pelan-pelan kepercayaan masyarakat kepada perusahaan teknologi untuk kegiatan transaksi pun meningkat, terutama dengan hadirnya generasi millennial atau masyarakat berusia 34 tahun ke bawah. Wajar jika secara nominal transaksi fintech didominasi oleh jenis pemanfaatan pembayaran digital.

Oleh sebab itu, kehadiran fintech menuntut bank-bank untuk mengubah paradigma layanannya ke arah digitalisasi. Sebab, fintech telah memacu digitalisasi layanan keuangan dan mengubah perilaku konsumen, seperti halnya e-commerce yang membuat sebagian orang enggan berbelanja ke toko konvensional atau aplikasi toko online yang memudahkan pengguna jasa transportasi. Selain itu, digitalisasi harus menjadi bagian dari transformasi bank-bank untuk melahirkan inovasi dalam transaksi, efisiensi, dan menciptakan pasar baru. Bagaimana agar pasar electronic payment perbankan tidak terdisrupsi oleh inovasi sistem pembayaran yang dibuat lembaga nonbank? Simak liputan lengkapnya di Majalah Infobank yang terbit hari ini, 1 Desember 2017 dengan fokus utama “The Best e-Payment 2017: Payment Banking Diterjang Fintech”.(*)  

Related Posts

News Update

Top News