Menakar Efektivitas Relaksasi Kebijakan Stimulus Ekonomi

Menakar Efektivitas Relaksasi Kebijakan Stimulus Ekonomi

Oleh Ryan Kiryanto, Chief Economist BNI

Pandemi coronavirus, dikenal dengan Covid-19, telah menjalar ke lebih dari 2020 negara di dunia dan semakin menyiratkan signal kelam prospek perekonomian global. Tak berlebihan jika lembaga-lembaga internasional (IMF, ADB, Bank Dunia), memberikan diskon besar terhadap outlook perekonomian global dengan penekanan kuat pada potensi resesi global.

Indonesia pun tak luput dari penjalaran pandemi Covid-19 dengan korban manusia terus berjatuhan. Semuanya berujung pada bayangan pesimis prospek perekonomian domestik tahun ini, yang diramalkan bakal tumbuh amat rendah dari proyeksi sebelumnya.

Secara umum batas bawah pertumbuhan ekonomi jika skenario terburuk terjadi, ditandai lamanya penanganan pandemi Covid-19, akan mencapai minus 4,6%. Sebaliknya, pada skenario optimis, penanganan pandemi Covid-19 berlangsung cepat tidak sampai memasuki semester kedua 2020, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 2,3%.

Semua skenario berpeluang terjadi mengingat tekanan terhadap perekonomian Indonesia melalui tiga jalur, yaitu jalur perdagangan, keuangan dan investasi. Dari ketiga jalur tersebut, semuanya sudah terbukti menjadi transmisi pemburukan ekonomi.

Aktivitas ekspor dan impor terganggu, demikian pula dengan kegiatan investasi portofolio karena pelaku pasar mengambil sikap panik ketimbang sikap rasional menyikapi wabah pandemi Covid-19. Jauh lebih banyak investor mengambil posisi jual ketimbang beli, terutama pemodal asing.

Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) melorot tajam dari 6.400 ke 3.900-an. Pun dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi cukup dalam berkisar 10% dari posisi awal tahun hingga awal April lalu pada level Rp 16.500-an per dolar AS.

Investasi langsung asing (PMA) dan domestik (PMDN) pun terancam meleset dari yang ditargetkan karena investor mengambil sikap menunggu sampai muncul kejelasan bahwa wabah pandemi Covid-19 sudah tertangani keseluruhan. Tentu ini butuh waktu tidak pendek, setidaknya hingga akhir tahun ini.

Saat ini pemerintah pusat hingga daerah beserta seluruh jajarannya tengah berjuang keras untuk dapat menangani wabah pandemi Covid-19 secepatnya. Beberapa kebijakan ad-hoc sudah dikeluarkan dan wajib dipatuhi oleh masyarakat umum, misalnya social distancing, work from home, split operation, penutupan sekolah, universitas, tempat perbelanjaan modern, museum, dan tempat-tempat berkumpul lainnya, termasuk himbauan supaya masyarakat tidak mudik ke kampung halaman.

Sejumlah daerah pun telah melakukan semacam gerakan karantina lokal. Semua gerakan nasional dan lokal tersebut dimaksudkan untuk memutus sebaran Covid-19 sehingga flattening the curve segera terjadi.

Urgensi Paket Stimulus Kebijakan
Menyikapi wabah Covid-19 yang sudah mempengaruhi aktivitas ekonomi, bisnis dan investasi, beberapa lembaga atau otoritas strategis cepat mengambil tindakan lugas. Ambil contoh Bank Indonesia (BI), yang menyampaikan tiga hal terkait perkembangan terkini dan kebijakan yang ditempuh sesuai kewenangan BI, khususnya terkait penerbitan Perpu No.1 Tahun 2020.

Pertama, penjagaan stabilitas nilai tukar rupiah. Dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental dan mekanisme pasar, BI terus memperkuat intensitas triple intervention baik melalui pasar spot, domestic non delivery forward (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder.

BI meyakini nilai tukar rupiah bergerak stabil dan akan cenderung menguat ke sekitar Rp 15.000 per dolar AS pada akhir tahun ini. Melalui koordinasi dengan Pemerintah, BI juga meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini tidak akan lebih rendah dari 2,3%.

Kedua, penegasan fungsi BI sebagai the last resort. Perluasan kewenangan bagi BI untuk dapat membeli SBN, yakni SUN/SBSN jangka panjang di pasar perdana dimaksudkan untuk membantu Pemerintah dalam membiayai penanganan dampak penyebaran Covid-19 terhadap stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Perpu No.1 Tahun 2020 adalah sebagai ”last resort”, bukan dalam rangka bail-out atau BLBI.

Peran BI sebagai “last resort” adalah diperbolehkannya pembelian SBN di pasar perdana (primary market) oleh BI dalam hal kondisi pasar (maksudnya investor non-bank sentral) tidak dapat menyerap seluruh SBN yang diterbitkan Pemerintah, misalnya karena yield yang tinggi dan tidak rasional.

Ketiga, penegasan BI bahwa tidak ada penerapan kontrol devisa. Pengaturan pengelolaan lalu lintas devisa bagi Penduduk Indonesia yang diatur dalam Perpu No.1 Tahun 2020 bukan merupakan kebijakan kontrol devisa dan saat ini belum terdapat rencana untuk mengeluarkan kebijakan konversi devisa hasil ekspor bagi Penduduk ke dalam rupiah.

BI menegaskan hal ini bukan merupakan kebijakan kontrol devisa, namun merupakan kebijakan pengelolaan devisa yang diberlakukan hanya bagi penduduk (resident). Dengan kata lain, tidak berlaku bagi non-penduduk/investor asing (non-resident). Investasi asing dalam bentuk portofolio (semisal saham dan obligasi) dan PMA masih dibutuhkan bagi ekonomi Indonesia sehingga kebijakan lalu lintas devisa bebas bagi investor asing tetap berlaku.

Yang menarik dan perlu dicermati adalah komitmen BI untuk terus bersama Pemerintah, OJK, dan LPS memonitor secara cermat dinamika penyebaran Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu. Langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan yang sekiranya perlu ditempuh untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik dan berdaya tahan juga dilakukan secara koordinatif.

Bantalan Stimulus Belanja Pemerintah
Paralel dengan upaya yang dikerjakan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK), terdiri dari Kemenkeu, BI, OJK dan LPS, Pemerintah pun mengambil posisi penting terkait penanganan dampak Covid-19 ini.

Pemerintah secara resmi menambahkan alokasi belanja dan pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020 senilai Rp405,1 triliun guna menangani pandemi Covid-19.

Dari angka tersebut, sebesar Rp75 triliun dialokasikan untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS), Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta Rp150 Triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi.

Pemerintah memberi prioritas utama penyiapan anggaran untuk dukungan bidang kesehatan yang akan digunakan untuk perlindungan tenaga kesehatan, terutama pembelian Alat Perlindungan Diri (APD) serta upgrade fasilitas kesehatan di 132 rumah sakit rujukan bagi penanganan pasien Covid-19, termasuk Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.

Pemerintah juga memberikan insentif kepada dokter, diantaranya untuk dokter spesialis senilai Rp15 juta perbulan, lalu untuk dokter umum Rp10 juta, perawat Rp7,5 juta, tenaga kesehatan lainnya Rp5 juta dan tak lupa untuk memberikan bantunan kematian tenaga medis Rp300 juta. Kebijakan ini mencerminkan kepekaan pemerintah yang tinggi terhadap para tenaga medis yang berada di garda depan penanganan pandemi Covid-19 dengan risiko tinggi.

Terakhir, melalui Perpu yang tidak lama lagi akan disetujui oleh DPR diharapkan seluruh perangkat Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, KKSK, dan Satgas Penanganan Covid-19 dapat mengeksekusinya tanpa keraguan lagi. Alhasil, penanganan pandemi Covid-19 bisa segera diselesaikan dan perekonomian nasional dapat take-off kembali menjauhi potensi resesi sebagaimana diramalkan oleh banyak kalangan. (*)

Related Posts

News Update

Top News