Kebijakan Suku Bunga Negatif: Fenomena Baru di Negara Maju

Kebijakan Suku Bunga Negatif: Fenomena Baru di Negara Maju

Oleh Ida Bagus Kade Perdana

BANK Indonesia (BI) adalah bank sentral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mendapat tugas utama menjaga makroprudensial. Secara garis besar, seluruh upaya yang dilakukan BI adalah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Sistem keuangan yang dimaksud di sini terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga yang saling berinteraksi dalam rangka pendanaan dan/atau penyediaan pertumbuhan perekonomian.

Sistem keuangan itu sendiri yaitu mengalokasikan dana dari pihak yang kelebihan dana (surplus) kepada pihak yang kekurangan dana (defisit). Dalam memajukan perekonomian, suatu negara berusaha mengelola sistem keuangannya dengan sebaik-baiknya agar perekonomiannya tumbuh dengan cepat atau sering dikatakan pertumbuhan ekonomi yang meroket.

Untuk itu, perlu sistem keuangan yang baik dan harus didukung dengan perilaku masyarakatnya untuk tidak memicu terjadinya kegagalan pasar, baik yang bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Diupayakan semua risiko dapat terkendali, dalam hal ini risiko yang timbul secara tidak terduga akibat adanya kelengahan dan pembiaraan. Jangan sampai good corporate governance (GCG) terabaikan yang bisa berakibat fatal dan dapat memunculkan berbagai faktor risiko, seperti risiko kredit, likuiditas, pasar maupun risiko operasional, yang dapat memorakporandakan keberadaan sistem keuangan. Karena itu, pentingnya didukung dengan stabilitas sistem keuangan yang baik, yang efisien, dan efektif supaya memiliki ketahanan atau kekebalan dan tidak sensitif atau tidak rentan terhadap gejolak, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar negeri.

Jadi, stabilitas sangat mutlak diperlukan dalam sistem keuangan. Stabilitas sistem keuangan merupakan suatu kondisi di mana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana, dan pengelolaan risiko dapat berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Penerapan paradigma suku bunga positif (SBP) sebagai kebijakan moneter konvensional selama ini memang tidak menjamin terjaganya dengan baik stabilitas sistem keuangan. Sering kali lembaga-lembaga keuangan terpuruk, seperti bank-bank banyak yang bangkrut, yang kerap membuat perekonomian mengalami kelesuan (resesi), krisis, bahkan depresi besar seperti yang terjadi pada 1929/1930 dan seperti sekarang ini banyak negara yang mengalami kelesuan (resesi) dampak dari wabah COVID-19.

Jepang, misalnya, sebagai negara maju sudah lama perekonomiannya lesu dengan menerapkan SBP dan kini beralih menerapkan suku bunga negatif (SBN) agar bisa keluar dari jebakan kelesuan ekonomi yang didera deflasi berkepanjangan. Penerapan SBP bahkan membuat keadaan menjadi terbalik. Dalam masa-masa kelesuan dan krisis ekonomi, bank-bank justru menjadi beban pemerintah. Mereka tidak mampu memberikan kontribusi signifikan seperti yang diharapkan, yakni mendorong dan mengangkat pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana yang dialami perbankan nasional sejak keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2011 sepertinya perbankan kita tidak berdaya memberikan kontribusi yang signifikan dalam penyaluran kredit, yang cenderung rendah, tidak mampu menyentuh level dua digit.

Padahal, bank seharusnya mampu melaksanakan fungsinya sebagai agen pembangunan, mengingat bank merupakan bagian terpenting dan sangat vital sebagai mesin ekonomi dengan tujuan untuk membantu pemerintah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Demikian vitalnya stabilitas sistem keuangan, beberapa kajian pun dilakukan.

Namun, menerapkan kebijakan SBN tentunya harus dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang, tidak coba-coba. Harus mengedepankan rasionalitas, bukan dengan mengedepankan unsur spekulatif dari para ahli ekonomi moneter negara-negara maju yang telah menerapkan kebijakan SBN dimaksud. Fenomena baru yang terjadi saat ini, negara-negara maju di dunia, seperti Swiss, Swedia, Denmark, Uni Eropa, dan Jepang, telah melakukan shifting (pergeseran) secara radikal, drastis, dan fundamental atas sistem keuangannya dengan menerapkan kebijakan moneter yang disruption atau disruptive innovation.

Itu merupakan kebijakan yang berlawanan arah (counterclockwise). Terjadi pergeseran dari paradigma lama berupa SBP ke paradigma baru berupa SBN. Dalam ilmu ekonomi moneter, nilai mata uang suatu negara salah satu faktor terbesar yang menentukannya adalah tingkat suku bunga. Sehingga, penerapan SBN menjadi demikian kontroversial dan tidak menjamin secara otomatis bahwa perekonomian menjadi membaik. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa penerapan SBP juga selama ini tidak menjamin perekonomian terbebas dari kelesuan, krisis maupun tidak stabilnya sistem keuangan.

Dengan demikian, bila kita simak bahwa penerapan SBP merupakan hal yang lumrah dan tidak bisa dibantah bahwa masyarakat  yang menyimpan uangnya di bank mendapat imbalan berupa bunga bahkan diberikan hadiah oleh bank. Tak hanya itu, bank-bank juga memberikan perlakuan lebih istimewa dalam pelayanannya dengan harapan nasabahnya tidak pindah ke bank lainnya. Hal itu dilakukan bank-bank mengingat ketatnya persaingan dalam memperebutkan kue bisnis perbankan.

Namun, dalam SBN tidak seperti bisnis perbankan konvensional dalam hal ini para nasabah penyimpan dana di bank bukannya mendapat bunga, justru nasabah harus membayar ongkos penitipan uangnya di bank. Jadi, berlaku sebagaimana penitipan barang pada umumnya yang harus membayar ongkos penitipan. Termasuk juga bila lembaga keuangan seperti bank yang menaruh uangnya di BI akan dikenai biaya penitipan dan tidak diberikan bunga maupun jasa lainnya. Secara umum tujuan dari penerapan SBN ialah untuk memulihkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan inflasi dengan mendorong penyaluran kredit agar meningkat signifikan mengingat bank-bank tidak lagi mendapat imbalan jasa (bunga) bila menempatkan uang di BI. Justru, sebaliknya, bank-bank harus membayar biaya penitipan di BI.

Dengan demikian, masyarakat yang kelebihan uang akan menjadi rajin, ulet, kreatif, dan produktif. Mereka akan berani keluar dari zona nyaman. Tidak lagi berkebun bunga, dengan tidak menyimpan uangnya di bank. Harus diupayakan dikelola sendiri dengan membuka usaha. Bila hal demikian terjadi, maka akan banyak yang terjun sebagai wirausaha. Hal itu akan mendorong makin meningkatnya jumlah para pengusaha. Ini tentu baik bagi kemajuan dan pertumbuhan perekonomian nasional. Lapangan kerja juga akan meningkat pesat sehingga pengangguran dan kemiskinan dapat diminimalisasi. Lalu, bagaimana dengan bank, apakah mereka akan kesulitan likuiditas karena cenderung orang yang menyimpan uang di bank makin berkurang karena tidak mendapat bunga, malah justru harus membayar jasa penitipan uang. Dalam hubungan ini, tentu BI akan mempersiapkan langkah kebijakannya agar ketersediaan likuiditas perekonomian tetap memadai dan tercukupi.

Bagaimana pula dengan laba bank? Dari mana sumber pendapatannya? Tentu dari hasil penitipan dana pihak ketiga dan fee bases income yang harus diciptakannya dan didukung dari penyaluran kredit dari spread (selisih) bunga negatif yang didapat dari penyaluran kredit dengan jumlah dana yang dapat dihimpunnya. Dengan adanya rangsangan seperti itu dan adanya ketentuan biaya penitipan uang, maka mau tidak mau kredit harus disalurkan semaksimal mungkin sehingga pertumbuhan kredit menjadi signifikan/meroket. Maka, inflasi akan menggeliat, naik, terhindar dari jebakan depresi sebagaimana yang dihadapi oleh ekonomi Jepang. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan kontribusi perbankan dalam penyaluran kredit dan hal itu pada akhirnya akan berkontribusi signifikan pada upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Bila negara-negara yang sudah menerapkan SBN terbukti mampu menunjukkan perubahan ke arah positif dan kondusif terhadap perekonomiannya serta mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, maka kebijakan SBN sepertinya akan terus menjadi fenomena dan makin banyak negara yang akan menerapkan SBN. Bagaimana dengan Indonesia?

Ada yang berpendapat, mustahil Indonesia bisa menerapkan SBN. Tidak perlu dirisaukan bila ada yang berpendapat demikian. Anggap saja sebagai suatu tantangan dan motivasi bahwa tidak ada yang mustahil bagi Indonesia, negeri kaya raya ini, tidak saja kaya akan sumber daya alamnya tapi juga sumber daya manusianya. Indonesia memiliki banyak ahli di berbagai bidang. Utamanya bidang ekonomi. Dalam hal ini pemerintah, BI, dan OJK maupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menkeu sebagai koordinator merangkap anggota, Gubernur BI sebagai anggota, Ketua Dewan Komisioner OJK sebagai anggota, dan Ketua Dewan LPS sebagai anggota yang semuanya mempunyai hak suara.

Sejak Orde Reformasi hingga saat ini, kinerja pemerintah dengan KSSK-nya terus menunjukkan progres, efektif, sehingga merangsang perbaikan fundamental perekonomian nasional. Perekonomian nasional terus menguat, bertumbuh positif dan kondusif. Ke depan, tidaklah mustahil di bawah kepemimpinan nasional Presiden Joko Widodo, Indonesia bisa menerapkan SBN demi mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menuju Indonesia Maju. Bravo, NKRI harga mati!

*) Penulis adalah Ketua BANI Bali Nusra, Wakil Ketua Umum Kadinda Prov. Bali Bidang Fiskal Moneter dan Mantan Dirut PT. Bank Sinar Jreeeng (sekarang PT. Bank Mandiri Taspen/Bank Mantap).

Related Posts

News Update

Top News