Moneter dan Fiskal

Ada Tiga Faktor yang Mampu Menunda Resesi Global, Apa Saja?

Jakarta – Terlepas dari ketidakpastian ekonomi global yang mengkhawatirkan, aktivitas ekonomi di negara maju terbukti lebih tangguh dari perkiraan di tengah pemulihan yang kuat di sektor jasa.

Manulife Investment Management menyebut, tahun 2023 menunjukkan bahwa ekonomi negara-negara maju memiliki awal tahun yang lebih baik dari yang diharapkan. Di mana, hanya zona Euro dan Selandia Baru yang telah tergelincir ke dalam jurang resesi.

Menanggapi hal tersebut, Head of Macro Strategy, Asia, Multi-Asset Solutions Team Manulife Investment Management Sue Trinh menyebut ada tiga faktor yang menunda terjadinya resesi di tahun 2023.

“Kami dapat mengidentifikasin tiga faktor terkait penundaan resesi yang ditakuti banyak orang terjadi di tahun 2023 namun belum benar-benar terwujud,” katanya dalam 2023 Mid-Yer Regional Market Outlook Media Briefing, Selasa (11/7).

Baca juga: Tren Ekonomi 2023: Komut BNI Waspadai Situasi Global

Ia pun lantas merinci ketiga faktor tersebut. Pertama, terjadinya pelonggaran yang signifikan dalam kondisi keuangan. Di mana, berdasarkan data Federal Reserve (Fed) AS menunjukkan bahwa kondisi keuangan tetap lebih longgar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi dan inflasi saat ini. 

“Kondisi keuangan lebih longgar daripada sebelum gejolak perbankan bulan Maret Maret 2022, ketika The Fed mulai melakukan pengetatan,” jelasnya.

Kedua, penarikan lanjutan dari kelebihan tabungan. Berdasarkan data The Fed, dukungan kebijakan fiskal terkait pandemi memungkinkan konsumen AS mengakumulasi kelebihan tabungan.

“Secara nominal jumlahnya sekitar US$2,1 triliun hingga Agustus 2021. Sebaliknya, penarikan kumulatif, yang telah mendukung pengeluaran rumah tangga, mencapai US$1,6 triliun per Maret 2023,” terangnya.

Ketiga, adanya rotasi pengeluaran dari barang ke jasa selama pandemi berlangsung. Misalnya, permintaan akan jasa layanan seperti restoran, teater, dan perjalanan menurun secara tidak proporsional terhadap permintaan barang-barang konsumen seperti televisi, furnitur, dan barang-barang yang berhubungan dengan perbaikan rumah. 

“Dan kami masih melihat hotel dan permintaan biro perjalanan masih sangat kuat karena saya menyadari betapa sulitnya mencoba memesan perjalanan baru-baru ini,” akunya.

Baca juga: IBI Imbau Para Bankir Waspada di Tengah Ketidakpastian Global

Meskipun demikian, kata dia, pengeluaran untuk jasa di Amerika Serikat secara riil telah kembali ke tren jangka panjang. Sementara itu, pengeluaran konsumen yang disesuaikan dengan inflasi untuk barang tetap jauh di atas tren jangka panjang. (*)

Editor: Galih Pratama

 
 

Muhamad Ibrahim

Recent Posts

Mau ke Karawang Naik Kereta Cepat Whoosh, Cek Tarif dan Cara Pesannya di Sini!

Jakarta - PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) resmi membuka penjualan tiket kereta cepat Whoosh… Read More

5 hours ago

Komitmen Kuat BSI Dorong Pariwisata Berkelanjutan dan Ekonomi Sirkular

Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) terus berkomitmen mendukung pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan… Read More

7 hours ago

Melalui Program Diskon Ini, Pengusaha Ritel Incar Transaksi Rp14,5 Triliun

Tangerang - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) meluncurkan program… Read More

7 hours ago

IHSG Sepekan Anjlok 4,65 Persen, Kapitalisasi Pasar Ikut Tertekan

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat bahwa data perdagangan saham selama periode 16-20… Read More

9 hours ago

Aliran Modal Asing Rp8,81 Triliun Kabur dari RI Selama Sepekan

Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat di minggu ketiga Desember 2024, aliran modal asing keluar… Read More

15 hours ago

Bos BRI Life Ungkap Strategi Capai Target Bisnis 2025

Jakarta - PT Asuransi BRI Life meyakini bisnis asuransi jiwa akan tetap tumbuh positif pada… Read More

16 hours ago