Ada Ruang Pertumbuhan di Tengah Paceklik Kredit

Ada Ruang Pertumbuhan di Tengah Paceklik Kredit

oleh Paul Sutaryono, Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI

KREDIT bank umum masih mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif). Hal itu menyusul kontraksi pertumbuhan ekonomi 3,49%, 5,32% dan 2,19% masing-masing per kuartal II dan III dan IV-2020 serta 0,74% (yoy) per kuartal I-2021. Meski pertumbuhan ekonomi masih terkontraksi, namun ada ruang pertumbuhan di tengah musim paceklik kredit. Bagaimana bank mengisi ruang pertumbuhan ekonomi itu?

Sejauh mana kinerja bank umum? Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 30 Juni 2021 menunjukkan bahwa kredit bank umum (tak termasuk bank umum syariah) terkontraksi 2,80% (year on year/yoy) dari Rp5.382,55 triliun per April 2020 menjadi Rp5.231,72 triliun per April 2021. Dana pihak ketiga (DPK) naik 10,85% dari R 5.839,04 triliun menjadi Rp6.472,49 triliun.

Harap catat bahwa kredit telah tumbuh secara bulanan (mtm) dari Rp5.151,04 triliun per Januari 2021 menjadi Rp5.173,22 triliun (0,43%) per Februari 2021 dan Rp5.246,24 trilun (1,41%) per Maret 2021. Data itu menegaskan bahwa pertumbuhan kredit perbankan mulai tumbuh!

Meskipun demikian, laba sebelum pajak turun 15,73% dari Rp193,07  triliun menjadi Rp162,70 triliun. Hal itu menyusutkan imbal hasil total aset (return on assets/ROA) dari 2,34% menjadi 1,86% namun masih di atas ambang batas 1,5%. Kredit bermasalah (non performing loan/NPL) naik dari 2,89% menjadi 3,22%. Memang NPLmasih di bawah ambang batas 5%, namun itu sesungguhnya merupakan gong bahaya! Itulah sekejab kinerja bank umum.

Aneka Tantangan

Lantas, apa saja tantangan bagi bank dalam mengisi ruang pertumbuhan ekonomi itu? Pertama, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 Day Reverse Repo Rate terus melandai dari 6% menjadi 3,50% mulai 18 Februari 2021. Sejak Januari 2020, suku bunga acuan telah turun 150 basis poin (bps) namun suku bunga kredit bank belum turun setara.

Alhasil, BI gemas dan “menyuruh” bank untuk segera menurunkan suku bunga kredit. Gayung pun bersambut. Akhirnya, bank pemerintah “langsung” menipiskan suku bunga dasar kredit (SBDK). SBDK merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank.

Tetapi jangan lupa bahwa SBDK belum memperhitungkan premi risiko (risk premium) nasabah. Dengan bahasa lebih bening, SBDK tak sama dengan suku bunga kredit seperti apa yang dibayangkan nasabah.

Selain itu, BI telah merelaksasi plafon penyaluran kredit (loan to value/ LTV) sebagai insentif bagi bank, perusahaan pembiayaan, pengembang dan calon debitur. Hal itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/13/PBI/2019 tentang Perubahan atas PBI Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

PBI yang efektif 2 Desember 2019 itu menetapkan LTV untuk kredit pemilikan rumah (KPR) untuk rumah kedua dan seterusnya naik dari 85% menjadi 90%. Artinya, uang muka turun dari 15% menjadi 10%.

Relaksasi tersebut telah membawa hasil. Coba cermati, SPI mencatat bahwa kredit pemilikan rumah tinggal (KPR) menebal 5,55% dan kredit pemilikan apartemen (KPA) juga naik 3,84%. Demikian pula kredit pemilikan peralatan rumah tangga lainnya (termasuk pinjaman multiguna) naik 3,39%. Ini kabar yang menggembirakan.

Sayangnya, kredit pemilikan ruko dan kredit pemilikan kendaraan (KKB) masih mengalami penurunan masing-masing 8,87% dan 27,60%. Hal itu dapat dimaklumi mengingat sektor riil masih belum bangkit sepenuhnya. Oleh karena itu, OJK mendorong bank dan perusahaan pembiayaan untuk merestrukturisasi kredit.

Hingga Maret 2021, total restrukturisasi kredit perbankan Rp808,75 triliun untuk 5,55 juta debitur turun dari Rp823,72 trilun per Febrari 2021. Debitur terbesar dari UMKM yang mencapai 3,89 juta dengan nilai Rp310,5 triliun. Total restrukturisasi perusahaan pembiayaan Rp198,27 triliun untuk 5,09 juta kontrak per 26 April 2021.

Kedua, setelah turun 0,06% per Maret 2021, kredit yang sudah disetujui namun belum ditarik (undisbursed loan) naik lagi 3% per April 2021 dari Rp1.630,26 triliun menjadi Rp1.679,14 triliun. Ini simbol bahwa sektor riil masih belum bangkit seutuhnya.

Namun bank masih rajin memarkir kelebihan dana ke surat berharga yang melesat 45,80% dari Rp1.115,97 triliun menjadi Rp1.627,14 triliun. Inilah rinciannya. Penempatan dana di Surat Perbendaharaan Negara (SPN) naik 9,36% dan Obligasi melejit 59,85%. Sebaliknya, Surat Berharga Lainnya turun 1,90% terlebih Sertifikat Bank Indonesia (SBI) anjlok 20,74%.

Ketiga, tingginya potensi risiko di tengah pandemi ini membuat rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) melonjak dari 2,89% menjadi 3,22% (yoy).

Bagaimana NPL menurut kelompok bank? Ternyata NPL kelompok bank asing 1,90%, kelompok bank pembangunan daerah (BPD) 2,95% dan kelompok bank swasta nasional (BSN) 2,99% semuanya di bawah rata-rata industri 3,22%. Ternyata hanya NPL kelompok bank persero 3,58% masih di atas rata-rata industri. Hal itu dapat dimaklumi mengingat bank pemerintah menjadi pemimpin pasar (market leader) sehingga juga mengucurkan kredit dan restrukturisasi kredit paling tinggi.

Memang NPL itu masih di bawah ambang batas 5%. Namun hal itu merupakan sirene bahaya bagi bank umum untuk segera mengerek kualitas kredit.

Keempat, potensi risiko NPL yang makin tinggi antara lain karena restrukturisasi kredit yang mencapai Rp808,75 triliun atau 15,41% dari total kredit itu mengakibatkan kenaikan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan (CKPN). Kini CKPN naik 4,23% dari Rp 15,05 triliun menjadi Rp 15,69 triliun. Cadangan yang tak terpakai akan menjadi pendapatan lain-lain untuk menambah laba.

Peluang Bisnis

OJK dan BI memprediksi kredit perbankan tumbuh masing-masing 6-7% dan 7,3% pada 2021. Prediksi pertumbuhan ekonomi 4,5-5,3%. Bagaimana bank menjawab tantangan itu?

Kelima, bank hendaknya pintar mengelola likuiditas yang luber tampak dari kenaikan rasio pemenuhan kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) dari 22,08% menjadi 24,21%.

Untuk itu, bank wajib menggenjot pengucuran dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terutama ke UMKM. Pada 2021, alokasi dana PEN ke UMKM dan korporasi Rp156,06 triliun dengan fokus pada subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) dan non-KUR, korporasi dan UMKM.  

Alokasi PEN untuk perlindungan sosial Rp150,96 triliun harus segera mengucur. Hal itu fokus untuk program keluarga harapan (PKH) bagi 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM), kartu sembako, prakerja, bantuan langsung tunai (BLT) Dana Desa, bansos tunai bagi 10 juta KPM, subsidi kuota pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan diskon listrik.

Hal itu bertujuan untuk menggenjot konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang PDB tertinggi 57%. Insentif fiskal (keringanan pajak), belanja pemerintah dan peningkatan pembiayaan dunia usaha serta stimulus moneter (stabilitas nilai tukar, suku bunga rendah) menjadi harapan besar untuk mempercepat pemulihan ekonomi.

Keenam, terbentuknya Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) diharapkan dapat mendukung penyediaan dana untuk pembangunan infrastruktur. Itulah tantangan bagi bank untuk membiayai proyek infrastruktur.

Bagaimana kredit infrastruktur menurut kelompok bank dengan asumsi kredit infrastruktur meliputi kredit sektor listrik, gas dan air, sektor konstruksi dan sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi? Bank umum telah menyalurkan kredit infrastruktur Rp813,27 triliun per April 2021. Inilah rinciannya.

Kelompok bank persero Rp396,01 triliun dengan kontribusi 48,69% dari total kredit infrastruktur yang dibayangi bank swasta Rp339,23 triliun (41,71%). Kemudian BPD Rp45,24 triliun (5,56%) dan bank asing Rp32,79 triliun (4,04%).

Ketujuh, untuk menggenjot mobil listrik, BI telah menurunkan batas minimum uang muka dari 5-10% menjadi 0% dalam pemberian KKB. Hal itu berlaku untuk pembelian kendaraan bermotor berwawasan lingkungan yang berarti kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/13/PBI/2020. Aturan yang efektif 1 Oktober 2020 itu bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah risiko kredit, mendorong fungsi intermediasi perbankan dan mendukung ekonomi berwawasan lingkungan. Aturan itu bertujuan untuk memacu industri mobil listrik dari hulu ke hilir dan investasi asing.

Katakanlah, investasi dalam pembangunan pabrik baterai mobil listrik tingkat dunia lantaran Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia sebagai bahan utama baterai mobil listrik. Pun, investasi pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU). Itulah peluang bisnis yang gurih!

Kedelapan, bank pun dapat menggeber kredit konsumsi kepada pegawai dalam satu perusahaan atau pegawainya sendiri. Angsuran bulanan dapat dipotong langsung dari gaji mereka sehingga NPL nihil.

Kesembilan, bank wajib meningkatkan layanan berbasis TI dan protokol kesehatan untuk mampu menembus pasar potensial. Kiat itu pun bertujuan untuk memenuhi perubahan perilaku nasabah (customers’ behaviour). Milenial yang mencapai 85 juta orang (31,37% dari total penduduk 271 juta orang) merupakan pasar target yang manis! (*)

Related Posts

News Update

Top News