Lombok – Bank Indonesia (BI) diperkirakan bakal menaikan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) pada akhir tahun ini, setelah Bank Sentral melonggarkan kebijakan moneternya sebanyak 200 basis points (bps) hingga Februari 2018.
Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Head of Economic and Market Research UOB, Enrico Tanuwidjaja, dalam diskusi yang bertema “Kondisi Perekonomian Terkini dan Respon Kebijakan BI” di Lombok, Sabtu, 21 April 2018. Menurutnya, tekanan global memicu kebijakan moneter BI diperketat.
“Ruang gerak untuk menurunkan BI 7-day Repo Rate sudah nol. Justru BI 7-day Repo Rate kemungkinan dinaikkan 25 bps di akhir Desember tahun ini,” ujarnya.
Lebih lanjut dirinya menambahkan, rencana kenaikan Bank Sentral (The Fed) yang diperkirakan BI akan naik sebanyak dua kali lagi di tahun ini, juga menjadi alasan kuat BI untuk mengetatkan kebijakan moneternya sebesar 25 bps menjadi 4,50 persen. Risiko inflasi di dalam negeri juga bakal menjadi perhatian BI.
Dirinya mengungkapkan, bahwa risiko inflasi sampai dengan akhir tahun diprediksi bakal meningkat baik dari dalam maupun luar negeri. Dari luar negeri ada ancaman kenaikan harga minyak mentah dunia, sementara kenaikan konsumsi di dalam negeri juga akan berdampak pada meningkatnya level inflasi.
Baca juga: BI Kembali Tahan BI-7 days Repo Rate 4,25%
Meski begitu, menurut Enrico, level inflasi saat ini masih sejalan dengan harapan BI yang dipatok sebesar 3,5 plus minus satu persen sehingga suku bunga acuan masih bisa ditahan di April 2017. Namun jika inflasi meningkat di luar batas, maka BI akan mempertimbangkan untuk menaikan suku bunga acuan.
“Kami cukup inline ya karena inflasi masih dalam batas official target. Kita lihat, hubungan antara rupiah dan BI policy rate cukup konsisten. Tapi kita lihat ruang gerak untuk menurunkan sudah hampir nol. Nah, bagaimana ruang gerak untuk menaikan melawan keep it unchanged (inflasi tidak meningkat),” tegasnya.
Sejauh ini dirinya menilai kebijakan suku bunga BI juga masih mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Hanya saja dengan berbagai risiko, termasuk kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang lebih agresif, akan dipertimbangkan untuk bank sentral mengetatkan kebijakan moneternya.
“Ini very supportive dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kestabilan finansial dalam 6-7 bulan ke depan. Tapi ada ancaman inflasi, harga minyak terus naik permintaan domestik juga akan meningkat. Kemungkinan ada ruang gerak suku bunga ini (naik) di Desember,” tutupnya. (*)