Oleh : Eko B. Supriyanto
Jakarta – Tiga tahun terakhir ini kinerja perbankan syariah seperti masuk ke lorong yang gelap. Sejumlah bank syariah mengalami kemerosotan kinerja. Tak hanya itu, sejumlah bank syariah bahkan terlihat menghadapi masalah yang menyangkut governance.
Tidak mudah untuk mendorong perbankan syariah kembali ke masa emas pada 2010 dan 2011. Lima tahun lalu kinerja gemilang perbankan syariah berada di puncak. Lalu, mulai 2013 malapetaka itu terjadi. Sejumlah bank syariah beraset besar yang selama ini bersaing, yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Muamalat, sama-sama masuk konsolidasi.
Usia perbankan syariah di Indonesia lebih dari 25 tahun. Pada 1990 untuk pertama kalinya perbankan syariah hadir di Indonesia. Waktu itu pemerintahan Soeharto mengajak beberapa pengusaha untuk mendirikan bank yang dikelola dengan sistem syariah. Hadirnya bank dengan sistem syariah melengkapi perbankan konvensional yang telah lebih dulu hadir.
Ada optimisme terhadap bank syariah. Pada 2004 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bunga bank riba. Sejak saat itu industri perbankan syariah berkembang pesat. Tidak hanya bank yang membuka unit usaha syariah (UUS), tapi juga lahirnya bank umum syariah (BUS), baik karena konversi maupun izin baru. Pasar syariah yang luas—besarnya penduduk Indonesia beragama Islam—memberi harapan besar terhadap pengembangan perbankan syariah.
Bahkan, beberapa negara menganggap perbankan syariah di Indonesia tumbuh pesat. Sejumlah investor pun masuk. Wajar jika investor terpincut dengan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia yang luar biasa besarnya. Lihat saja, lima tahun sejak 2004, ketika fatwa suku bunga lahir, perbankan syariah berada di puncak. Namun, sejak empat tahun lalu, kemilau perbankan syariah mulai pudar. (bersambung)