Singapura – Bitcoin, mata uang yang dijalankan oleh jaringan online peer-to-peer, berhasil menarik perhatian masyarakat. Mata uang digital ini oleh beberapa orang diyakini merupakan salah satu tatanan baru keuangan yang akan mengubah perbankan tradisional dan pengendalian ekonomi secara terbalik.
Saat ini, ada yang berinvestasi (bitcoin) hanya karena takut kehilangan keuntungan yang besar. Namun, adapula yang menggunakan bitcoin dan “cryptocurrencies” lainnya untuk melakukan kejahatan.
Dalam sebuah langkah besar menuju pembuatan bitcoin, CME, operator pembuatan terbesar di dunia yang berbasis di Chicago mengumumkan bahwa mereka siap menawarkan “kontrak masa depan” bitcoin.
Ini memungkinkan pemilik mata uang untuk melakukan lindung nilai atas risiko yang mereka ambil. Langkah ini dapat mendorong manajer keuangan tradisional makin tertarik. Hal ini berpotensi mendorong harga bitcoin ke rekor tertinggi lebih dari US$ 7.000 (setara dengan sekitar Rp94 juta).
Banyak negara yang mendukung bitcoin, namun tidak sedikit yang menentangnya. China misalnya. Negara ini telah melarang warganya untuk melakukan perdagangan tersebut (mata uang digital).
Sementara Jepang, justru mengeluarkan undang-undang yang mengakui bitcoin sebagai metode pembayaran legal di awal tahun ini. Selain Jepang, adalah Rusia yang juga pada akhirnya mendukung bitcoin. Negara ini dikabarkan tengah menyusun kerangka regulasi yang mengatur ini.
Lain lagi di Inggris. Pengawas di negara ini sibuk memperingatkan investor tentang risiko “Initial Coin Offerings” (ICO). Lalu bagaimana komentar para pelaku keuangan tentang bitcoin?
Jamie Dimon, chief executive JP Morgan, seperti dikutip dari The Telegraph, menggambarkan cryptocurrency ini sebagai fraud. Senada, Larry Fink, pendiri kelompok dana BlackRock, menyebutnya sebagai “indeks of money laundering”. Lalu bagaimana institusi keuangan menyikapi tren ini?
Institusi financial, Goldman Sachs, juga dikabarkan sedang menjajaki bagaimana cara membantu klien bertransaksi dengan mata uang digital.
Namun, beberapa bank telah merasakan sulitnya nasabah yang ingin memasukkan uang ke dalam cryptocurrency ini. Sejumlah pelanggan Telegraph Money juga telah mendengar adanya akun yang diblokir karena terindikasi usaha untuk membeli bitcoin.
Juru bicara HSBC mengatakan, bank tersebut menaruh perhatian pada bank penerbit atau dealer mata uang virtual ini.
Sementara juru bicara Lloyds mengaku bahwa pelanggan yang berurusan dengan mata uang virtual mungkin masih ditoleransi dengan berdasarkan kasus per kasus, dan tetap melakukan pemeriksaan due diligence tambahan.
Lain lagi dengan Barclays. Untuk kondisi pembayaran melalui kartu debet, bank ini menyerahkannya pada Visa. Kondisinya tergantung pada bagaimana Visa mendefinisikan penjual bitcoin pada sistemnya.(*)
Jakarta – PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel pada hari ini (22/11)… Read More
Jakarta - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal III 2024 mencatatkan surplus sebesar USD5,9 miliar, di… Read More
Head of Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia Kunardy Lie memberikan sambutan saat acara… Read More
Pengunjung melintas didepan layar yang ada dalam ajang gelaran Garuda Indonesia Travel Festival (GATF) 2024… Read More
Jakarta - PT Eastspring Investments Indonesia atau Eastspring Indonesia sebagai manajer investasi penerbit reksa dana… Read More
Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat perubahan tren transaksi pembayaran pada Oktober 2024. Penggunaan kartu ATM/Debit menyusut sebesar 11,4… Read More