Moneter dan Fiskal

5 Dinamika Global yang ‘Paksa’ BI Naikan Suku Bunga

Jakarta – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengungkapkan sejumlah dinamika global yang membuat BI memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan ke level 6 persen.

“Dinamika global sangat cepat, dan very unpredictable. RDG bulan lalu memang kita sampaikan apa-apa yang kita lihat dengan informasi terbaru pada waktu itu, tapi 2 minggu kemudian terjadi perubahan yang sangat cepat,” ujar Perry dalam konferensi pers RDG, Kamis 19 Oktober.

Perry menjelaskan, ada lima dinamika global yang terjadi. Pertama, pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi akan melambat. Di mana BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global di 2,9 persen pada 2023 dan 2,8 persen di 2024.

Baca juga: Diluar Prediksi, BI Naikan Suku Bunga Acuan 25 Bps Jadi Segini

“Sedangkan, China sekarang sudah melambat dan juga akan melambat. Nah ini yang kemudian dalam dua tahun ke depan 2024 dan 2025 pertumbuhan ekonomi akan melambat, tahun depan divergensi sumber pertumbuhan masih melebar tapi baru menyempit 2025. Dan baru kemudian pada 2026 kemungkinan akan stabil,” jelasnya.

Kedua, tensi ketegangan geopolitik yang meningkat. Ketegangan geopolitik ini menyebabkan harga minyak melonjak dan harga pangan tetap tinggi, sehingga memperlambat penurunan inflasi global.

Ketiga, suku bunga di negara maju yang higer for longer. Termasuk The Fed yang diperkirakan akan menahan suku bunga acuannya tetap tinggi dalam jangka waktu yang lama.

“Memang kami menakar ada probabilitas sekitar 40 persen FFR akan naik pada Desember. Tapi kan ketidakpastian tinggi. Tapi meskipun naik atau tidak naik itu masih akan tetap tinggi khususnya di paruh pertama tahun depan. Baru akan mulai turun pada paruh kedua tahun depan itu FFR nya,” ungkapnya.

Keempat, kenaikan suku bunga global diperkirakan akan diikuti juga dengan kenaikan tenor jangka panjang yield obligasi pemerintah negara maju, khususnya US Treasury. Ini disebabkan adanya peningkatan kebutuhan pembiayaan utang pemerintah dan kenaikan premi risiko jangka panjang.

Baca juga: Sudah Tepat, BI Naikan Suku Bunga Acuan jadi 6 Persen

“Term structure suku bunga yield UST obligasinya paman sam (AS) sekarang kan tinggi sekitar 5,2 persen tapi 10 tahun sekitar 4,6 persen. Yang 10 tahun sudah naik 4,8 persen, yang 20 tahun 30 tahun juga naik,” tambahnya.

Kelima, merupakan implikasi dari nomor empat, sehingga aliran modal yang dari negara emerging yang mulai stabil, bahkan sudah masuk ke Indonesia kembali pindah ke negara maju dan juga memperkuat dolar AS. (*)

Editor: Galih Pratama

Irawati

Recent Posts

Adu Laba Bank Digital per September 2024, Siapa Juaranya?

Jakarta - Sejumlah bank digital di Indonesia telah merilis laporan keuangan pada kuartal III 2024.… Read More

3 hours ago

397 Saham Merah, IHSG Ditutup Turun 0,38 Persen

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini (18/11) masih ditutup pada zona… Read More

3 hours ago

Pajak Digital Sumbang Rp29,97 Triliun hingga Oktober 2024, Ini Rinciannya

Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penermaan dari sektor usaha ekonomi digital hingga 31 Oktober 2024 mencapai… Read More

3 hours ago

Fungsi Intermediasi Bank Jasa Jakarta (Bank Saqu) Moncer di Triwulan III 2024

Jakarta - Kinerja fungsi intermediasi Bank Jasa Jakarta (Bank Saqu) menunjukkan hasil yang sangat baik… Read More

5 hours ago

Bertemu Sekjen PBB, Prabowo Tegaskan Komitmen RI Dukung Perdamaian Dunia

Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia untuk mendukung upaya PBB dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan internasional. Termasuk… Read More

5 hours ago

OJK Catat Outstanding Paylater Perbankan Tembus Rp19,82 Triliun

Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL) di perbankan… Read More

5 hours ago