News Update

4 Karakteristik Uang Digital Yang Menggangu Stabilitas Keuangan

Jakarta – Bank Indonesia (BI) terus mengawasi peredaran uang digital cryptocurrencies. Sebagai otoritas di bidang Moneter, Stabilitas Sistem Keuangan dan Sistem Pembayaran senantiasa berkomitmen menjaga stabilitas sistem keuangan, perlindungan konsumen dan mencegah praktik-praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme.

“Uang digital cryptocurrencies memiliki risiko tinggi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan, rawan risiko penggunaan untuk pencucian uang dan pendanaan terorisme serta merugikan konsumen oleh karena itu kita larang di Indonesia,” ungkap Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Enny V. Panggabean di Kompleks Bank Indonesia Jakarta, Senin 15 Januari 2018.

Enny menjelaskan, terdapat empat karakteristik cryptocurrencies yang dapat menggangu stabilitas sistem keuangan. Salah satu karekteristiknya ialah belum adanya aturan yang pasti dari peredaran cryptocurrencies di dunia.

“Yang jelas tidak ada aturannya. Tidak ada pengelola, namun alogritma cryptocurrencies masih berjalan, pakai komputer transaksi. Sehingga tidak ada kepastian hukum bila terjadi kerugian. Kalau lagi untung senyum, kalau rugi siapa yang tanggung jawab?,” ungkap Enny.

Selain itu, karekteristik kedua yang dimiliki oleh cryptocurrencies ialah Peer-to-Peer dimana tidak ada perantara bila ingin bertransaksi.

“Dua, tanpa perantara atau intermediary. Transaksi langsung final karena dua orang saling terhubung. Virtual currency itu distributed ledger, dia diketahui transaksi oleh semua pihak dan setelmen langsung,” tambah Enny.

Selanjutnya ialah karekteristik Pseudonymity dimana pemilik dari uang digital tersebut belum terdata dengan jelas nama serta identitas pemiliknya. Enny menyebut, masih banyak transaksi cryptocurrencies yang menggunakan nama samaran bahkan menggunakan kode sandi. Dengan demikian transaksi tersebut rawan disalahgunakan untuk pembiayaan terorisme.

Dan karekteristik terakhir ialah tidak adanya entitas sentral. Dimana harga ditentukan dari penawaran dan permintaan pasar, sehingga tidak ada perlindungan konsumen.

“Misalnya Bitcoin diproduksi Ccma 21,6 juta keping setelah itu harganya maka bisa naik diharga sekunder. Kalau supply sudah 21,6 juta maka tergantung dari yang beredar di masyarakat, tidak ada perlindungan konsumen,” tukas Enny.(*)

Suheriadi

Recent Posts

Potensi Cuan Indonesia di Balik Perang Dagang AS-China, Ini Penjelasannya

Jakarta - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China akan memasuki babak baru menjelang… Read More

2 hours ago

Ekonomi RI Diprediksi Tumbuh 5,1 Persen di 2025, HSBC Beri Saran Ini

Jakarta - HSBC memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level 5,1 persen pada 2025. Chief… Read More

7 hours ago

Pemerintah Terbitkan SUN berdenominasi USD dan Euro buat Biayai APBN, Ini Detailnya

Jakarta - Pemerintah Indonesia kembali menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam dua mata uang asing, yakni… Read More

9 hours ago

Ratusan Aset ID Food Senilai Rp3,32 T Hilang, DPR Desak Investigasi

Jakarta - Komisi VI DPR bakal memanggil seluruh jajaran pimpinan ID Food terkait hilangnya 147… Read More

9 hours ago

Luhut Ancam Pengemplang Pajak, Bakal Dipersulit Urusan Administrasi

Jakarta – Pemerintah akan mempersulit urusan administrasi bagi masyarakat pengemplang pajak, salah satunya, yakni pembuatan paspor. Ketua… Read More

12 hours ago

Begini Respons BEI Soal Bukalapak yang Bakal Setop Jualan Produk Fisik

Jakarta - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) buka suara terkait dengan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA)… Read More

14 hours ago