Tahun Depan Rupiah Masih Dibayangi Normalisasi Kebijakan The Fed

Tahun Depan Rupiah Masih Dibayangi Normalisasi Kebijakan The Fed

Jakarta — Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan penjelasan Pemerintah mengenai pandangan Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran (TA) 2020 melalui sidang Paripurna yang dilaksanakan di Gedung Nusantara II Kompleks DPR Jakarta.

Dalam penjelasan tersebut, Pemerintah mengapresiasi kepada seluruh fraksi khususnya kepada Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai HANURA, Fraksi PAN, dan Fraksi PKS yang memberikan tanggapan membangun khususnya terhadap asumsi nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS dalam RAPBN 2020 pada kisaran Rp14.000-Rp15.000.

Sri Mulyani menjelaskan, bahwa besaran nilai tukar tersebut akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal maupun dalam negeri.

“Dari sisi eksternal, masih tingginya ketidakpastian global akan mempengaruhi keseimbangan pasar keuangan global yang pada gilirannya akan memengaruhi besarnya arus valas yang masuk ke dalam negeri,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa, 11 Juni 2019.

Sri Mulyani menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir‚ Pemerintah melihat bagaimana dampak dari normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat terhadap volatilitas arus modal di pasar global yang pada akhirnya tercermin pada kenaikan suku bunga the Fed Fund Rate (FFR) yang telah mendorong investor di pasar global mengalihkan dananya masuk ke pasar AS untuk memperoleh lmbal keuntungan investasi yang lebih tinggi.

Hingga saat ini, menurutnya arah normalisasi kebijakan moneter the Fed diperkirakan masih akan terus berlanjut. Di tahun 2019, kondisi ekonomi AS yang masih belum stabil telah menyebabkan persepsi pelaku pasar atas kecepatan normalisasi yang sedikit tertahan.

“Penundaan normalisasi kebijakan The Fed dan kenaikan FFR di tahun 2019 menimbulkan Implikasi risiko bedanjutnya kebijakan moneter ketat di tahun 2020, dan hal tersebut juga akan menimbulkan risiko kembali tekanan terhadap nilai tukar mata uang dunia, termasuk Indonesia,” kata Sri Mulyani.

Sementara itu, stabilitas nilai tukar juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi domestik yang masih menghadapi tantangan. Lemahnya permintaan dan ekonomi global telah menyebabkan timbulnya tekanan terhadap neraca perdagangan dan memperbesar defisit neraca Transaksi Berjalan.

Lemahnya permintaan global tidak hanya menyebabkan turunnya permintaan atas produk-produk ekspor Indonesia, tetapi juga pada penurunan harga komodltas ekspor unggulan Indonesia.

Oleh karena itu, Pemerintah terus meningkatkan daya saing produk ekspor diantaranya melalui perbaikan sistem logistik serta kebijakan ekonomi. Selain itu strategi lain yang ditempuh melalui penguatan pasar keuangan dalam negeri. Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan terus memfokuskan pendalaman pasar keuangan.

“Langkah-langkah tersebut diyakini akan meningkatkan efisiensi perekonomian dan penguatan struktur industri,” tukas Sri Mulyani.

Sebagai informasi, berikut asumsi-asumsi RAPBN 2020 yang telah diusulkan Pemerintah:

Pertumbuhan Ekonomi: 5,3-5,6 persen

Inflasi: 2-4 persen

Tingkat bunga SPN 3 Bulan: 5-5,6 persen

Nilai Tukar Rupiah: Rp 14.000-Rp 15.000

Harga Minyak Mentah: 60-70 dolar AS per barel

Lifting Minyak Bumi: 695-840 ribu barel per hari

Litung Gas Bumi: 1.191-1.300 (*)

 

 

Editor: Paulus Yoga

Related Posts

News Update

Top News