Teknologi dan Bisnis Perbankan

Teknologi dan Bisnis Perbankan

Oleh : Krisna Wijaya

Jakarta – Kemajuan teknologi mempunyai kecenderungan menjadi lebih cepat dibandingkan dengan kemajuan di bidang bisnis perbankan khususnya. Karena, pengembangan teknologi tidak selalu diperuntukkan bagi bisnis perbankan saja, tetapi juga untuk keperluan bisnis lainnya. Namun, perkembangan teknologi bagi bisnis perbankan saat ini maupun yang akan datang sangat penting.

Memerhatikan apa yang sudah dilakukan kalangan perbankan, maka jenis teknologi yang diprioritaskan adalah yang berkaitan dengan kecepatan, akurasi, kepraktisan, dan efisiensi. Pada awalnya teknologi difokuskan untuk kebutuhan bidang keuangan, accounting, dan pelaporan. Hal tersebut pada akhirnya dirasakan tidak memadai lagi ketika produk perbankan yang dipasarkan dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu kecepatan layanan, kemudahan, kepraktisan, dan efisiensi.

Bisnis perbankan dan teknologi sudah saling melekat sedemikian rupa. Sehingga, begitu memutuskan menggunakan teknologi untuk pengembangan bisnisnya, maka sepanjang masa tidak bisa tidak selalu tergantung pada teknologi. Berkaitan dengan hal tersebut, ada beberapa hal strategis yang perlu menjadi perhatian, baik perbankan maupun pihak regulator.

Antara lain, satu, sebagai pengguna teknologi, pihak bank selalu dalam posisi tawar yang tidak sejajar dengan pengembang dan penyedia jasa teknologi. Contoh paling sederhana saja penggunaan PC dan/atau notebook. Semua pengguna tidak pernah tahu, apakah teknologi yang digunakan itu adalah teknologi terkini. Dalam praktiknya, baru saja melakukan pengadaan PC, beberapa bulan kemudian sudah ada serial terbaru.

Demikian juga dalam penggunaan automatic teller machine (ATM) dan peralatan yang berkaitan dengan kegiatan administrasi dan pengelolaan data, yang akan selalu berubah karena adanya perubahan dan perkembangan teknologi. Analoginya harus berlari tanpa tahu sampai kapan harus berlari atau berhenti.

Dengan posisi tawar tersebut, harus dimaklumi apabila belanja barang modal, baik berupa peranti keras (hardware) maupun perangkat lunak (software), dan pemberdayaan unsur manusianya (brainware) akan berubah dengan cepat. Dengan demikian, diperlukan pemahaman yang sama antara pemilik, pengurus, dan regulator dalam menyikapi belanja barang modal untuk menunjang bisnis perbankan. Pengertian yang diperlukan bukan saja dalam hal jumlah modal yang diperlukan, melainkan juga dalam konteks dinamika perubahan teknologi yang tiada hentinya.

Masalah yang mungkin sering menjadi kritis ketika dihadapkan pada masalah ketersediaan modal. Sebab, selain memerlukan modal untuk pengembangan teknologi, perbankan harus selalu menyediakan modal yang cukup agar bisnisnya dapat bertumbuh secara berkesinambungan. Pada kondisi tertentu, yang sering terjadi menunda belanja teknologi sehingga keterbelakangan penggunaan teknologi tetap dijumpai.

Mungkin diperlukan suatu peraturan yang berkaitan dengan pengadaan sumber dana teknologi seperti halnya dalam penyediaan dana pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang diatur oleh regulator. Misalnya, peraturan yang berkaitan dengan pengembangan SDM, di mana semua bank wajib mencadangkan sebesar 5% dari total biaya tenaga kerja untuk sumber dana pengembangan SDM. Hal serupa tentunya bisa dibuat agar komitmen untuk secara berkesinambungan menggunakan teknologi terkini tidak terkendala.

Dua, karena teknologi selalu berkembang cepat dan dinamis, risiko operasional sebuah bank harus menjadi perhatian. Risiko operasional karena keterbelakangan teknologi maupun sebaliknya, yaitu ketermajuan teknologi, tetap tinggi apabila tidak dikelola dengan baik dan benar. Risiko yang timbul pada umumnya karena masalah belum memadainya penguasaan teknologi dan kedisiplinan SDM dalam mematuhi segala sistem dan prosedur.

Risiko operasional yang dilakukan pihak internal masih terjadi, dan penanganannya mengacu pada peraturan internal masing-masing bank dalam bentuk sanksi. Menjadi beda permasalahannya ketika ada risiko operasional yang menyangkut pihak eksternal, yaitu nasabah. Penyelesaian masalahnya tidak bisa lagi menggunakan peraturan internal bank saja, tapi juga terkait dengan aspek hukum lainnya.

Isu mengenai perlunya cyber law, misalnya, sudah lama dan sering diwacanakan, tapi kelanjutannya belum ada kepastian. Di lain pihak, transaksi keuangan yang berbasis teknologi, seperti short message service (SMS) dan internet banking, meningkat sangat cepat sehingga berpeluang akan terjadi masalah antara pihak nasabah dan bank atau sesama nasabah.

Sementara ini memang telah ada semacam fungsi mediasi dan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh regulator, baik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bank Indonesia (BI). Masing-masing bank juga sudah memiliki peraturan apabila terjadi penyalahgunaan secara internal (fraud) oleh pihak karyawan. Namun, itu semua dirasakan masih belum memadai karena payung hukumnya sampai dengan saat ini masih belum ada.

Tiga, mungkin diperlukan adanya semacam blue print mengenai teknologi bisnis perbankan. Dengan blue print yang sama, diharapkan tidak terjadi lagi kesenjangan teknologi antara pihak regulator (pembuat kebijakan dan pengawas) dan pihak bank. Misalnya saja, mulai dari sistem informasi pelaporan dan administrasi lainnya yang berkaitan dengan penerapan asas kehati-hatian serta kepatuhan.

Dengan demikian, apa pun hasil pengolahan data di bank bisa langsung dikirim dan digunakan oleh regulator tanpa ada kendala yang berkaitan dengan sistem teknologinya. Apabila kondisi itu dapat diwujudkan, sudah sangat membantu meningkatkan efisiensi.

Ketiga catatan tersebut bukan hal baru, tetapi masih relevan. Persaingan bisnis perbankan nasional makin ketat. Tak hanya persaingan sesama bank milik domestik, tetapi juga dengan bank asing dan bank milik asing. Perlu disadari sepenuhnya bahwa persaingan dengan bank dalam jangka panjang akan lebih berat karena mereka mempunyai kekuatan modal yang selain kuat juga sudah dipersiapkan.

Penulis adalah pengamat perbankan.

Related Posts

News Update

Top News