Tekfin dan UMKM

Tekfin dan UMKM

oleh Paul Sutaryono

KINI hampir semua orang mengenal pembiayaan keuangan berbasis teknologi (financial technology) atau teknologi finansial (tekfin) sebagai buah disrupsi inovasi (disruptive innovation). Disrupsi inovasi merupakan inovasi yang bisa mengganggu industri konvensional seperti perbankan. Sejauh mana tekfin mampu mendorong kemajuan segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) ke depan?

Bagaimana laju perkembangan tekfin? Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada 127 tekfin (119 konvensional dan 8 syariah) terdaftar/berizin per 13 Agustus 2019. Tekfin telah menyalurkan kredit Rp49,79 triliun per Juli 2019 (year to date).

Mengapa bisnis tekfin begitu cepat melaju selama ini? Lantaran tekfin model peer to peer lending menawarkan model bisnis (business model) yang sangat baru seperti tanpa memerlukan tatap muka, tanpa agunan (collateral), lebih cepat dan minim persyaratan. Syarat itu sangat berbeda dari kredit perbankan yang membutuhkan tatap muka, agunan, waktu lebih lama dan banyak persyaratan. Peer to peer lending adalah layanan keuangan digital untuk mempertemukan pihak yang membutuhkan pinjaman dan pihak yang memberikan pinjaman.

Sudah barang tentu, model pinjaman seperti itu akan menarik para pelaku UMKM yang sebagian besar belum dapat mengakses industri perbankan (unbankable). Segmen UMKM merupakan ladang bisnis yang sangat gemerincing.

Aneka Pertimbangan

Lantas, sejauh mana tekfin mampu mendorong kemajuan segmen UMKM itu? Pertama, coba lihat data Kementerian Koperasi & Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang mencatat bahwa terdapat 57,89 juta unit UMKM pada 2013 yang terdiri dari 57,19 juta unit usaha mikro, 654,22 ribu unit usaha kecil dan 52,11 ribu unit usaha menengah. Usaha mikro merajai dalam memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 60,34% yang disusul usaha kecil 36,90% dan usaha menengah 13,72%.

Tidak berhenti di situ. Usaha UMKM mampu menyerap 100 juta tenaga kerja tepatnya 114,14 juta orang yang meliputi usaha mikro 104,62 juta orang, usaha kecil 5,57 juta orang dan usaha menengah 3,95 juta orang. Tentu saja, segmen UMKM menjadi basis nasabah (customer base) yang amat gurih bagi tekfin mengingat segmen tersebut mengandung margin yang amat tebal.

Namun harap catat bahwa tidak semua peminjam tekfin merupakan pelaku UMKM. Artinya, bisa jadi sebagian peminjam tekfin merupakan perorangan (individual) seperti halnya kredit tanpa agunan (KTA).

Kedua, dengan demikian tekfin telah memberikan alternatif jalan keluar bagi UMKM yang belum mampu menembus industri perbankan nasional karena berbagai sebab. Mengapa? Karena selama ini harus diakui banyak pelaku UMKM tidak memiliki akses untuk menikmati kredit perbankan nasional. Hal itu bagai tumbu dapat tutup atau gayung bersambut bagi segmen UMKM.

Di sisi lain, segmen UMKM telah membuktikan tahan banting terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997/1998. Kok bisa? Salah satu penyebabnya karena segmen UMKM tidak memiliki eksposur (exposure) dalam valuta asing (valas). Hal itu sungguh menguntungkan bagi bisnis nasional saat itu mengingat banyak perusahaan besar (korporasi) terpapar risiko likuiditas karena memiliki eksposur valas terkait bisnis dan atau utang dalam valas.

Oleh karena itu, hal itu sudah sepatutnya menjadi pelajaran berharga (lesson learned) bagi korporasi yang bergerak dalam bisnis dan atau utang dalam valas untuk menutup potensi risiko dengan lindung nilai (hedging). Lindung nilai merupakan suatu upaya untuk menekan atau mengurangi potensi pergerakan valas.

Ketiga, jangan lupa bahwa regulator melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012 pada 21 Desember 2012 mewajibkan bank nasional untuk menyalurkan kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan investasi). Kewajiban itu dapat diraih dalam enam tahapan terhitung mulai 2013-2018. Pada 2015, rasio kredit UMKM minimal 5%. Kemudian berlanjut menjadi 10%, 15% dan 20% masing-masing pada akhir 2016, 2017 dan 2018.

Sayang seribu sayang, beberapa bank belum mampu memenuhi kewajiban penyaluran kredit minimal 20% pada akhir 2018. Dengan demikian, beberapa bank harus terus mengejar kewajiban itu. Tetapi justru sebagian bank umum kelompok usaha (BUKU) 3 (dengan modal inti di atas Rp5 triliun hingga Rp30 triliun) dan 4 (modal inti di atas Rp30 triliun) yang belum memenuhi kewajiban itu.

Lho? Karena sebagian besar nasabah BUKU 3 dan terutama BUKU 4 justru korporasi dengan kredit miliaran bahkan triliunan. Kewajiban kredit UMKM minimal 20% itu tinggi karena total kredit produktifnya juga tinggi. Inilah ilustrasinya. Satu bank papan atas mampu menyalurkan total kredit Rp500 triliun pada kuartal II-2019 dengan kredit produktif Rp400 triliun. Alhasil, ketika bank papan atas harus mampu mengucurkan kredit UMKM minimal 20% itu berarti 20% dari Rp400 triliun atau Rp80 triliun pada akhir 2019. Itu jumlah yang tinggi untuk segmen UMKM.

Lihatlah data berikut ini. Saat ini porsi kredit UMKM OCBC NISP mencapai sekitar 18-19% dari total kredit. Kredit PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI untuk usaha kecil mencapai 13,3% atau Rp72,93 triliun. Sementara itu, total kredit ke segmen UMKM PT Bank Central Asia (BCA) mencapai 13,4% per Juni 2019 (Koran Kontan, 9/8/2019). Mungkin hal itu tidak berlaku bagi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau Bank BRI karena segmen UMKM merupakan bisnis inti (core business) bank nomor wahid dalam total aset itu.

Keempat, oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) telah memberikan insentif bagi bank penyalur kredit UMKM dengan melonggarkan batas atas loan to deposit ratio (LDR) dari 92% menjadi 94%. Bank nasional yang telah memenuhi kewajiban pengucuran kredit ke UMKM minimal 5% pada akhir 2015 dengan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di bawah 5%.

Data SPI mencatat bahwa LDR tampak mengalami kenaikan dari 92,76% per Juni 2018 menjadi 94,98% per Juni 2019. Bagaimana LDR menurut BUKU? LDR BUKU 1 (modal inti di bawah Rp1 triliun) mencapai 76,92%, BUKU 2 (modal inti Rp1 triliun sampai dengan Rp5 triliun) 89,70% dan BUKU 4 sebesar 91,81% berada di ambang batas LDR 78-92%. Sebaliknya, LDR BUKU 3 menyentuh 103,49% jauh di atas ambang batas.

Apa makna LDR? Semakin rendah LDR itu berarti bank itu kurang agresif dalam menyalurkan kredit. Sebaliknya semakin tinggi LDR mengandung arti bahwa bank terlalu agresif dalam mengucurkan kredit apalagi sudah melewati ambang batas. Untuk ukuran internasional, ambang batas LDR berada pada kisaran 80-110%. Tetapi kemudian bank sentral masing-masing negara dapat menetapkan ambang batas.

Selain itu, LDR yang tinggi juga bisa berarti bahwa sedang terjadi likuiditas ketat di pasar keuangan. Harap ingat pula bahwa data di atas merupakan data Juni 2019. Dengan bahasa lebih bening, kini likuiditas sudah mulai mengendor karena BI sudah menurunkan giro wajib minimum (GWM) menjadi 6% efektif Juli 2019. Penurunan GWM itu akan memberikan ruang likuiditas bagi bank sekitar Rp25 triliun sehingga pengucuran kredit makin deras mengalir.

GWM adalah dana atau simpanan dalam jumlah tertentu yang wajib dipelihara bank dalam bentuk rekening giro yang ditempatkan di bank sentral. Besaran GWM itu berubah (naik atau turun) sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan pasar keuangan. Ketika likuiditas ketat, maka bank sentral dapat menurunkan GWM. Begitu sebaliknya, ketika likuiditas terlalu longgar, maka bank sentral dapat menaikkan kembali GWM. Pengaturan GWM itu merupakan salah satu kebijakan makroprudensial BI. Sebaliknya, OJK memiliki wewenang kebijakan mikroprudensial.

Selain itu, BI juga sudah menurunkan suku bung acuan (BI 7 Day reverse repo rate) masing-masing 25 basis poin (0,25%) pada Juli dan Agustus 2019. Apalagi ketika suku bunga acuan turun lagi pada medio September 2019. Itu mengandung makna bahwa likuiditas bank akan semakin longgar mengingat biaya dana (cost of fund) semakin tipis sejalan dengan penurunan suku bunga deposito.

Kelima, namun pelaku UMKM perlu meningkatkan kewaspadaan sebelum menikmati pembiayaan kredit atau pinjaman ke perusahaan tekfin. Lugasnya, calon peminjam wajib sudah mengetahui suku bunga pinjaman, aturan denda dan jumlah denda per hari. Hal itu mendesak dan penting diketahui untuk melakukan mitigasi risiko.

Sebaliknya, penyelenggara bisnis tekfin wajib memiliki sistem yang sanggup operasional dengan tingkat standar keamanan dan keandalan tinggi yang berlaku umum dan sesuai dengan PBI, Peraturan OJK dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk mampu mengatasi kegagalan sistem, penyelenggara bisnis tekfin wajib memiliki rencana siaga (contigency plan) dan menerapkan manajemen risiko yang meliputi risiko kredit, operasional, pasar dan likuiditas.

Pun tekfin harus memprioritaskan perlindungan konsumen. Pada hakekatnya, hubungan antara konsumen dan investor harus setara dan adil. Bukan hubungan atas bawah sehingga konsumen memiliki hak untuk dilindungi kerahasiaan (data pribadi, keuangan dan atau transaksi) dan menyampaikan pengaduan masalah jika ada (Paul Sutaryono, Kompas, 11/4/2017).

Berbekal aneka pertimbangan demikian, pelaku UMKM sudah selayaknya tidak terperosok dalam kubangan kredit bermasalah pada tekfin. Sungguh! (*)

Penulis adalah Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI

Related Posts

News Update

Top News