Setahun Jokowi-JK, Ketahanan Ekonomi RI Kritis

Setahun Jokowi-JK, Ketahanan Ekonomi RI Kritis

Jakarta–Tepat pada hari ini di tahun lalu, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) resmi dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Saat itu mereka berdua masih belum memiliki menteri-menteri untuk membantu membuat dan menjalankan kebijakannya.

Telah banyak hal-hal yang dilakukan oleh Jokowi-JK di tahun pertama ini, meski banyak hambatan yang harus dihadapi. Mulai dari terpaan pelambatan ekonomi nasional akibat berbagai faktor baik domestik maupin eksternal, pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar Rupiah yang melemah cukup tajam, serta penyerapan anggaran yang lambat.

Berdasarkan penilaian dari kacamata Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), dalam waktu satu tahun Indonesia di pimpin oleh Jokowi-JK bahwa ekonomi nasional justru menunjukkan gejala pesimistis atau mengalami pengenduran. Menurut Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Heri Gunawan, ketahanan ekonomi nasional saat ini sedang dalam tahap kritis.

Pertumbuhan ekonomi nasional yang terus mengalami tekanan, menjadi alasan bahwa  ketahanan ekonomi Indonesia sedang dalam kondisi kritis. Hal tersebut juga tercermin pada pertumbuhan ekonomi di triwulan II-2015 yang hanya mampu tumbuh 4,67% atau lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal sebelumnya yang mencapai 4,71%.

“Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini ekonomi hanya tumbuh 4,67% dan ini merupakan yang terburuk dalam lima tahun terakhir,” ujar politisi Partai Gerindra ini kepada wartawan, Senin,19 Oktober 2015.

Selain itu, indikasi lain yang menunjukkan kondisi ketahan ekonomi nasional sedang kritis yakni jumlah  pengangguran yang terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data BPS, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) meningkat 300 ribu orang, atau naik 0,81%. Meningkatnya jumlah pengangguran tersebut, memperkuat indikasi bahwa ekonomi nasional sedang sakit.

“Buruknya kinerja ekonomi hingga triwulan III-2015, berimbas kepada bertambahnya jumlah pengangguran. Padahal, jumlah orang yang butuh pekerjaan itu terus bertambah 3 juta orang,” tukas dia.

Kemudian pertimbangan lainya yakni laju inflasi Indonesia yang masih tergolong tinggi meski saat ini kondisi inflasi masih sejalan dengan target pemerintah di batas 4±1% di 2015. Menurutnya, laju inflasi Indonesia masih tertinggi se-ASEAN. Berdasarkan data BPS tingkat inflasi tahun ke tahun (September 2015 terhadap September 2014) masih cukup tinggi yakni 6,83%.

Pertumbuhan inflasi tak hanya dirasakan masyarakat di perkotaan, namun juga di pedesaan. Faktor terbesar kenaikan inflasi tersebut, masih disebabkan oleh kenaikan harga BBM bersubsidi. Pasalnya, faktor tersebut yang menjadi penyebab naiknya harga-harga sembako seperti beras, bawang dan daging yang dianggap sangat berdampak kepada masyarakat.

“Saat ini, inflasi Indonesia adalah yang tertinggi se-ASEAN. Gejala seperti ini yang seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk lebih banyak mendengar dan tidak terburu-buru untuk nafsu membuat kebijakan, yang ujung-ujungnya, mengorbankan rakyat kecil,” tutup Hery. (*) Rezkiana Nisaputra

Related Posts

News Update

Top News