Selamat Datang Rezim Ekonomi Cekak

Selamat Datang Rezim Ekonomi Cekak

oleh Eko B. Supriyanto

 

 

PEMERINTAH telah sepakat untuk memangkas besaran anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). Jumlahnya tak tanggung-tanggung, mencapai Rp47,5 triliun, termasuk di dalamnya anggaran untuk infrastruktur yang menjadi jualan pemerintahan Jokowi-JK.

Pemerintah terpaksa memotong anggaran karena penerimaan pajak tak sesuai dengan harapan. Daripada mengorbankan defisit anggaran yang lebih besar, selain akan melanggar batas defisit yang disepakati sebesar 3% dari produk domestik bruto (PDB), mau tak mau harus memotong pengeluaran. Tahap pertama pemotongan anggaran tidak termasuk pada anggaran wajib, seperti gaji atau subsidi pendidikan, tapi untuk hal-hal yang melekat pada perjalanan dinas dan seminar serta hal-hal lain seperti peninjauan proyek. Risiko akan lebih besar jika membiarkan defisit anggaran. Selain akan menekan nilai tukar rupiah, tentu harus mencari sumber-sumber penerimaan atau pemasukan, salah satunya akan berutang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Defisit anggaran yang besar dengan sendirinya akan menekan nilai tukar rupiah. Repot.

Sudah tentu pemotongan anggaran ini akan berdampak ke mana-mana, termasuk ke sektor perbankan lewat sektor riil yang selama ini mendapat berkah anggaran. Apalagi, ekonomi Indonesia adalah ekonomi APBN. Karena itu, pemotongan anggaran akan membawa dampak yang tidak kecil bagi perbankan dan sektor riil.

Obat yang diberikan oleh Bank Indonesia (BI) ialah penurunan BI Rate menjadi 6,50% dari sebelumnya 6,75%. Penurunan BI Rate ini memberi sinyal bahwa inflasi akan terjaga pada kisaran 4% dan dunia usaha akan merasa lebih longgar dalam berinvestasi. Peningkatan investasi menjadi penting setelah anggaran tidak sesuai dengan harapan.

Langkah BI menurunkan BI Rate sudah menunjukkan arah yang benar, kendati respons BI Rate berupa penurunan suku bunga kredit akan terjadi setidaknya pada tiga bulan ke depan. Transmisi penurunan suku bunga oleh BI ini memang tidak serta-merta akan menggairahkan kredit, tapi setidaknya arahnya sudah benar.

Permintaan kredit perbankan yang relatif rendah (7%) bukan semata-mata karena tinggi atau rendahnya suku bunga. Menurut catatan Infobank Institute, salah satu hal terpenting ialah risiko kredit yang masih tinggi akibat penurunan harga komoditas dan pertambangan serta transportasi. Sektor komoditas dan pertambangan yang kini meninggalkan non-performing loan (NPL) yang relatif tinggi di bank-bank BUMN dan bank swasta besar.

Risiko kredit menjadi pertimbangan utama, selain dunia usaha sendiri yang juga tidak banyak memanfaatkan fasilitas kredit yang diberikan. Lihat saja angka undisbursed loan terus membesar. Di lain sisi, angka loan to deposit ratio (LDR) juga sudah mendekati 89,6% atau sudah diambang batas tinggi, 92%.

Pemotongan anggaran, terutama anggaran departemen untuk keperluan perjalanan dinas, seminar, dan rapat-rapat, tentu akan membawa efek yang besar bagi dunia perhotelan, agen perjalanan, dan trasportasi.
Sebenarnya pemerintah sendiri banyak berharap dari tax amnesty yang diharapkan sedikit banyak akan menghasilkan penerimaan. Namun, dengan pemotongan anggaran ini memberikan sinyal bahwa pemerintah sendiri tidak yakin akan keberhasilan tax amnesty karena sudah lebih awal melakukan pemotongan anggaran.
Kita tidak berharap tax amnesty ini gagal karena jika gagal akan terjadi banyak pemangkasan, yang salah satunya bisa subsidi-subsidi atau gaji pegawai yang tidak kita harapkan. Atau, akan menaikkan tarif pajak yang membuat dunia usaha makin tidak kondusif.

Jika demikian, ada baiknya tax amnesty ini terus didorong untuk segera diberlakukan, kendati masih banyak argumen di masyarakat tentang istilah bebas dari kejahatan pajak tapi tidak bebas kejahatan tindak pidana yang lain. Meski Menteri Keuangan menegaskan, bagi yang membocorkan data-data tax amnesty akan terkena tindak pidana, di Indonesia kredibilitas lembaga terutama menyangkut data-data bisa didapat dengan mudah.

Kondisi keuangan negara saat ini benar-benar berada dalam tepi jurang. Jika tahun-tahun sebelumnya ada pada risiko penyerapan, sekarang lebih mengerikan, yaitu risiko penerimaan. Ketidakpastian penerimaan akibat lesunya ekonomi dan penurunan harga komoditas dan pertambangan akan mendorong pengelolaan anggaran rawan defisit.

Pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai dengan ekspektasi sebelumnya makin membuat situasi berusaha makin tidak keruan. Para menteri yang membuat kebijakan-kebijakan parsial dengan data yang berbeda, seperti data sapi, data ikan, dan data beras, membuat para menteri saling membuat kebijakan akrobat. Impor daging tapi tidak membuat daging turun harganya. Di bilang surplus beras tapi tidak ada satu negara di dunia pun yang mengimpor beras kita.

Pada akhirnya pemotongan anggaran belanja telah memberi sinyal bahwa perekonomian Indonesia tidak akan sebagus tahun lalu. Bank-bank harus menyesuaikan diri dengan kondisi anggaran yang deg-degan ini. Penurunan suku bunga merupakan hal yang baik, tapi tidak otomatis akan menggenjot kredit, karena memang ekonomi Indonesia sedang rawan.

Selamat datang ekonomi cekak—ekonomi yang ketat dan bank-bank harus menekan banyak biaya sebagai konsekuensi dari penurunan pendapatan atas risiko kredit macet yang terus membesar. Lebih dari itu, perbankan membutuhkan kebijakan yang kredibel dan tak sekadar paket-paket yang entah bagaimana nasibnya. (*)

 

 

Penulis adalah Pimpinan Redaksi Infobank

Related Posts

News Update

Top News