Sektor Manufaktur China Picu Sentimen Negatif Pasar Global

Sektor Manufaktur China Picu Sentimen Negatif Pasar Global

oleh Agung Galih Satwiko

 

PASAR saham Asia hari Senin 1 Februari 2016 ditutup mixed. Pasar saham China ditutup turun setelah data manufaktur China bulan Januari turun, sementara pasar saham lainnya membukukan kenaikan masih karena dampak langkah BOJ yang menurunkan tingkat bunga menjadi minus 0,1%. Indeks Nikkei naik 1,98%, Hang Seng turun 0,45%, Shanghai Composite turun 1,78%, Kospi Korsel naik 0,67% dan Singapore STI turun 1,02%.

Sementara pasar Eropa ditutup melemah karena lemahnya data manufaktur Eropa dan juga China. FTSE 100 Inggris turun 0,39%, DAX Jerman turun 0,41%, CAC 40 Perancis turun 0,56% dan IBEX 35 Spanyol turun 0,31%. Pasar ekuitas US ditutup melemah. DJIA turun 0,10%, S&P 500 index turun 0,04%, dan NASDAQ composite naik 0,14%. Pagi ini pasar Asia dibuka melemah. Nikkei turun 0,36% dan Kospi Korsel turun 0,53% (08.20 WIB).

Data Purchasing Manager Index China bulan Januari 2016 tercatat sebesar 49,4 yang menunjukkan pelemahan (kontraksi) selama enam bulan berturut-turut. Data ini juga turun dari bulan Dersember yang tercatat sebesar 49,7 dan berada di bawah perkiraan pelaku pasar sebesar 49,6. Sementara itu data Caixin Manufacturing PMI China bulan Januari 2016 (Caixin PMI merupakan indikator yang menggambarkan aktivitas manufaktur khususnya untuk perusahaan skala kecil dan menengah yang tidak di-cover oleh official PMI) tercatat sebesar 48,4 turun dibandingkan 48,2 di bulan Desember. Lemahnya kedua indikator ini menunjukkan aktivitas manufaktur China melambat dan akan menghadapi tantangan yang besar khususnya karena Pemerintah China berencana mengurangi kelebihan kapasitas industri dan membersihkan perusahaan yang tidak lagi beroperasi dan perusahaan yang tidak lagi memperoleh keuntungan yang selama ini masih tetap hidup karena ditopang oleh subsidi Pemerintah.

Dari US, belanja konsumen di bulan Desember tampak relatif flat meskipun secara tahunan mengalami peningkatan dan dalam tren meningkat beberapa tahun terakhir. Sementara data indeks manufaktur US bulan Januari menunjukkan kontraksi berturut-turut selama empat bulan terakhir. Institute of Supply Management menyebutkan bahwa indeks manufaktur US bulan Januari naik ke 48,2 dibandingkan bulan Desember yang tercatat sebesar 48,0. Meskipun naik namun indeks masih di bawah 50 yang menunjukkan kontraksi sektor manufaktur. Nilai mata uang USD yang kuat, turunnya permintaan global, dan jatuhnya harga komoditas membuat sektor manufaktur US mengalami kontraksi.

Belanja konsumen di US mengalami tahun terbaiknya di tahun 2015 lalu sejak tahun 2005, ditunjang oleh membaiknya pasar tenaga kerja US dan rendahnya inflasi. Hal ini kontras dengan sektor manufaktur di US yang terus menurun karena pelambatan ekonomi global dan kuatnya USD. Yang patut menjadi pertanyaan ke depan adalah apakah kenaikan belanja konsumen ini akan membuat korporasi meningkatkan belanja dan tetap merekrut pegawai, atau sebaliknya, pelambatan ekonomi global justru akan membuat korporasi mengurangi belanja korporasi dan mengurangi pegawai, yang tentunya akan kembali berdampak pada belanja konsumen dan pertumbuhan ekonomi US. Vice Chairman the Fed, Stanley Fischer, menyatakan bahwa turbulensi di pasar keuangan global dan ketidakpastian di China membuat the Fed tidak dapat menentukan secara pasti mengenai kebijakan kenaikan Fed Fund rate.

Inflasi bulan Januari 2016 di Indonesia tercatat sebesar 0,51%, lebih rendah dari perkiraan pengamat sebesar 0,70%. Dengan demikian inflasi tahunan (year on year) tercatat sebesar 4,14%. Tingkat inflasi komponen inti bulan Januari 2016 sebesar 0,29%, dan inflasi inti tahunan (year on year) mencapai 3,62%. Kelompok yang paling banyak menyumbang inflasi adalah kelompok makanan (2,2%), sementara kelompok yang mengalami deflasi yaitu kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan (1,1%). Inflasi yang relatif rendah ini tentu menjadi stimulant dan pertimbangan bagi BI untuk kembali menurunkan tingkat bunga acuan BI rate. Sementara data Nikkei Indonesia manufacturing PMI bulan Januari 2016 tercatat sebesar 48,9 naik dibandingkan bulan Desember yang tercatat sebesar 47,8.

Masih dari Indonesia, kemarin Japan Credit Rating Agency (JCR) mengafirmasi sovereign credit rating Indonesia di level investment grade. Dalam siaran persnya, JCR mengafirmasi rating Indonesia pada level BBB- dengan outlook stabil. Faktor utama yang menjadi pertimbangan adalah pertumbuhan ekonomi yang solid ditopang oleh konsumsi domestik, terkendalinya defisit fiskal dan utang publik, sehatnya neraca perbankan serta resiliensi pasar keuangan dan perekonomian terhadap tekanan eksternal. JCR menyebutkan bahwa outlook stabil mencerminkan kemampuan Indonesia untuk menghadapi tekanan eksternal ke depan.

Harga minyak ditutup turun setelah data manufaktur China yang terus mengalami kontraksi menimbulkan kembali kekhawatiran pelaku pasar akan lemahnya permintaan akan energi. WTI crude Nymex untuk pengiriman Maret turun USD2,00 (6%) ke level USD31,62 per barrel. Sementara Brent crude London’s ICE untuk pengiriman Maret turun USD1,75 (4,9%) ke level USD34,24 per barrel.

Yield UST naik meskipun harga minyak kembali turun dan pasar saham global terkoreksi. Yield UST 10 year naik 4 bps ke level 1,97%, sementara UST 30 year naik 3 bps ke level 2,78%. Sejak awal tahun ini, yield UST 10 year telah turun 30 bps (akhir tahun lalu 2,27%). Di Eropa yield German bund tenor 10 tahun naik 1 bps ke level 0,35%.

Pasar SUN terus menguat, yield SUN tenor 10 tahun turun 12 bps ke level 8,14%. Yield SUN tenor 10 tahun telah turun 60 bps sejak akhir tahun lalu yang tercatat sebesar 8,74%. IHSG pada penutupan kemarin naik 9,47 poin (0,21%) ke level 4.624,63. IHSG hampir sepanjang hari berada di teritori negatif, sebelum pada jam terakhir meningkat dan membukukan positive return. Year to date IHSG membukukan kenaikan indeks sebesar 0,69% (IHSG akhir tahun lalu sebesar 4.593,00). Asing membukukan net buy sebesar Rp416,7 miliar sehingga year to date asing masih membukukan net sell sebesar Rp1,90 triliun. Sementara itu, nilai tukar Rupiah ditutup menguat Rp147 ke level Rp13.632 per Dolar AS. Penguatan nilai tukar Rupiah disebabkan oleh inflow asing di pasar SBN maupun pasar saham. NDF Rupiah 1M menguat Rp89 ke level Rp13.654. Persepsi risiko naik, CDS spread 5Y naik 6 poin ke level 239.

Secara umum pasar keuangan kembali dalam teritori negatif setelah data indeks manufaktur China menunjukkan pelemahan yang berkelanjutan. Turunnya harga minyak juga membuat pelaku pasar kembali melakukan penjualan saham. Satu hal yang nampaknya tidak sesuai dengan tren masa lalu adalah naiknya UST di tengah turunnya harga minyak dan turunnya pasar saham. Namun demikian menurut pandangan kami, hal ini dimungkinkan sebagai koreksi temporer. Yield UST sudah turun cukup signifikan sejak awal tahun ini, sehingga koreksi temporer dimungkinkan untuk terjadi. Secara fundamental, yield safe haven countries seperti US, Jerman, dan Jepang akan cenderung turun terlebih setelah aksi BOJ menurunkan tingkat bunga acuan menjadi minus 0,1%. (*)

 

(Agung Galih Satwiko-Staf Khusus Waka DK OJK)

Related Posts

News Update

Top News