Profesional di Pusaran Politik BUMN: Pelajaran dari Kasus Sofyan Basir

Profesional di Pusaran Politik BUMN: Pelajaran dari Kasus Sofyan Basir

oleh Eko B Supriyanto

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) menetapkan Sofyan Basir, Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Listrik Negara (PLN), sebagai tersangka kasus korupsi PLTU Riau-1. Penetapannya sebagai tersangka menyusul vonis terhadap politisi Golkar, Idrus Marham dan Anggota Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, serta pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR), Johannes B. Kotjo. Setelah penetapan Sofyan Basir sebagai tersangka, reaksi kalangan perbankan kaget dan kalangan profesional BUMN pun terasa terpukul. Prihatin.

Maklum, Sofyan Basir bukan bankir sembarangan. Dedikasinya selama 40 tahun di dunia perbankan telah mengantarkannya menjadi bankir yang sukses. Sepuluh tahun di Bank Rakyat Indonesia (BRI), ia telah mengubah BRI menjadi bank nomor 1 di Indonesia. Ia sukses dan punya legacy di perbankan.

Nasib berkata lain. Setahun sebelum masa tugasnya habis di PLN, Sofyan Basir dijadikan tersangka. Buyar sudah karier profesionalnya. Selama ini dari sisi kinerja di PLN ia relatif berhasil dengan melakukan banyak hal. Pembenahan dilakukanbaik ke dalam, vendor, supplier, kontraktor maupun pihak-pihak yang selama ini mendapatkan berkah dari PLN. Tentu banyak yang sakit hati dengan kebijakannya. Itu soal lain lagi. Ia menjalankan PLN lebih efisien dan lincah.

Namun, ia kini tersandung kasus, dan kita semua menghargai proses hukum yang berlaku. Kasus PLTU Riau-1 bergulir sejak 13 Juli 2018, tepatnya saat KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Eni Maulani Saragih dan Johannes B. Kotjo.

Sofyan Basir terkena pasal 12 huruf a atau b pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal suap itu, seperti ditegaskan KPK, rumusannya menerima hadiah atau janji, dan perlu diketahui proyek PLTU Riau-1 ini belum direalisasikan. Pendek kata, Sofyan Basir tersandung karena dikasih janji commitment fee dari proyek yang belum jalan.

Yang kita takutkan, ada bukti permulaan, atau tekanan politik, atau citra seolah-olah melakukan pemberantasan korupsi dengan liputan besar, lalu baru dicarikan kerugian negara. Kasus SKL-BDNI yang menghukum Syafruddin A. Tumenggung di mana dijadikan tersangka dulu baru dihitung kerugian negaranya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara, masalah SKL-BDNI sudah selesai sejalan dengan audit BPK tahun 2006 dan kebijakan yang diambil pemerintah.

Kita semua menghargai proses hukum. Semoga penetapan kasus tersangka terhadap Sofyan Basir dengan bukti hanya janji dari proyek yang belum ada baru dicarikan alat bukti yang benar-benar merugikan negara dari Proyek PLTU Riau-1 yang belum jalan. Namun, dari kasus Sofyan Basir tentu dapat dipetik pelajaran.

Sofyan Basir tidak sendiri. Sebelumnya ada R.J. Lino, mantan Dirut Pelindo II dan Emirsyah Satar, mantan Dirut Garuda. Juga, ada Budi Tjahjono, mantan Dirut Jasindo. Mereka dijadikan tersangka. Budi Tjahjono ditahan setelah lebih dari setahun dijadikan tersangka. Sementara, R.J. Lino dan Emirsyah Satar tidak ada kabar beritanya. Keduanya tersandera status tersangka yang tidak ada SP3-nya.

Sudah waktunya dicarikan jalan keluar agar para profesional ini tidak dijadikan bahan permainan politik. Kasus R.J. Lino juga bermula dari DPR. Kasus Pupuk Indonesia yang belakangan ini juga karena anggota DPR menenteng pengusaha. Tanpa menduga, dari banyak pembicaraan, selama ini direksi BUMN dijadikan bahan pemerasan untuk membiayai aktivitas politik.

Karena itu, presiden terpilih hendaknya punya fokus terhadap masalah ini. Meski Kementerian BUMN ditolak DPR, ironisnya anggota DPR sendiri masih main-main di BUMN. Kebijakan holdingisasi adalah kebijakan yang bagus, tidak hanya untuk meminimalisasi tekanan Senayan ke BUMN, tapi juga lebih fokus pada urusan pekerjaan. Karena itu, RUU BUMN harus ditolak sebab isinya parlemen hendak menguasai BUMN.

Kita prihatin atas kasus yang menimpa Sofyan Basir karena bisa juga hal yang sama menimpa para profesional hebat BUMN lainnya, karena permainan politik yang tidak berubah. Sofyan Basir menjadi korban permainan politik yang kotor dan korup seperti yang dilakukan Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham. Presiden terpilih harus menghentikan ini dan jangan malah bagi-bagi kaveling dengan partai koalisi.

Kita menghargai proses hukum, namun kita juga percaya Sofyan Basir menjadi korban dari pusaran politik yang kotor di negeri ini (*)

 

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Infobank

Related Posts

News Update

Top News