Potensi Fee Based Dari Biaya E-money Capai Rp1,67 Triliun

Potensi Fee Based Dari Biaya E-money Capai Rp1,67 Triliun

Jakarta – Rencana Bank Indonesia (BI) membebankan biaya top untuk e-money menjadi sumber pendapatan baru bagi bank. Ditengarai, potensi pendapatan fee based yang diperoleh dari biaya top up e-money ini bisa mencapai Rp1,67 triliun.

Dalam waktu dekat, BI dikabarkan akan segera mengeluarkan aturan terkait biaya isi ulang (top-up) uang elektronik (e-money). Kebijakan tersebut disebut-sebut akan dikeluarkan pada semester kedua tahun ini. Biaya top up e-money tersebut nantinya alokasikan lagi untuk meningkatkan kualitas infrastruktur e-money, diantaranya, memperbanyak sarana pengisian untuk e-money. Namun demikian, pengenaan biaya top-up itu dianggap akan membebani masyarakat. Karena, selain harus membeli kartu e-money seharga Rp25 ribu, konsumen juga akan dibebankan biaya top-up.

Bayangkan saja jika konsumen dikenakan biaya Rp1.500-Rp2.500 per sekali top-up, sudah berapa banyak pendapatan bank dari pengenaan isi ulang e-money tersebut. Saat ini per Juli 2017 jumlah e-money yang beredar dimasyarakat sebanyak 69,4 juta kartu. Jika biaya pengenaan isi ulang e-money dipatok Rp2.000 per sekali top-up maka ada potensi pendapatan sebesar Rp138,80 miliar untuk bank. Jika diasumsikan nasabah melakukan top-up sekali dalam sebulan. Maka, jika disetahunkan angkanya mencapai Rp1,67 triliun. Itu pun hanya sekali top-up saja, bayangkan jika masyarakat melakukan top-up berkali-kali, sudah berapa besar pendapatan bank dari biaya top-up tersebut?

Pengamat Perbankan Paul Sutaryono berpendapat, besarnya potensi dari pendapatan pengenaan biaya top-up e-money tersebut tentu akan sangat menguntungkan perbankan. Saat ini, bank sudah mengenakan biaya administrasi bulanan kepada nasabah. Jika kebijakan tersebut diterbitkan nantinya, artinya bank akan mengenakan juga biaya isi uang elektronik. Biaya-biaya ini bisa saja dianggap memberatkan. Jika demikian dikhawatirkan bisa menghambat program Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang digagas oleh Bank Indonesia dan pemerintah. Menurut Paul, lebih baik dipikirkan kembali formulanya agar pengenaan biaya dalam top-up e-money jangan terlalu membebani masyarakat.

“Dari sisi pengguna mungkin biaya itu tampak rendah seperti isi ulang pulsa biasa. Tapi bagi bank, itu akan jadi sumber pendapatan komisi atau fee based income yang menarik. Maka biaya itu mestinya cukup Rp1.000 sekali top-up. Bandingkan dengan kenaikan BBM subsidi Rp1.000 saja bisa bikin demo berhari-hari,” ujarnya di Jakarta, Jumat, 15 September 2017.

Saat ini uang elektronik tidak hanya digunakan untuk kebutuhan transaksi dalam pembayaran digardu tol, transjakarta dan kereta commuterline, namun uang elektronik juga bisa digunakan untuk bertransaksi dalam pembayaran di toko ritel. Maka dari itu, wacana pengenaan biaya isi ulang uang elektronik ini baiknya bisa dikaji kembali atau paling tidak besarannya tidak membebani masyarakat.

Apalagi, saat ini pemerintah juga tengah menggenjot gerakan non tunai pada semua sektor. Bahkan transaksi di gerbang tol pun pada Oktober 2017 semuanya akan diterapkan non tunai.

Dihubungi terpisah, Ekonom Lana Soelistianingsih mengatakan, rencana pengenaan biaya isi ulang e-money yang saat ini aturannya tengah digodok oleh Bank Indonesia  sangat memberatkan masyarakat. Menurutnya, pengisian ulang e-money secara gratis seharusnya menjadi bagian pelayanan bank kepada nasabahnya, karena sudah menggunakan produknya dan menyimpan uangnya di bank. Transaksi menggunakan kartu e-money, sama saja seperti masyarakat ketika bertransaksi di kartu debitnya, sehingga tidak perlu lagi ada penarikan biaya setiap pengisian ulang saldo e-money.

“Ini tentu jadi beban masyarakat, karena masyarakat sudah dikenakan biaya administrasi setiap bulan ditabungannya, masa dia mengisi ulang e-money di banknya kena biaya lagi. Kecuali jika masyarakat melakukan isi ulang di bank berbeda, misalnya Flazz mengisi ulang bukan di bank BCA tapi di bank lain, boleh dikenakan secara wajar,” tegasnya.

‎Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) Donny Imam Priambodo mengungkapkan, bahwa pihaknya tidak setuju dengan adanya wacana (kebijakan fee top up e-money) tersebut. Ia pun meminta, Bank Indonesia sebagai regulator di sistem pembayaran bisa mengkaji kembali aturan terkait pengenaan biaya top-up saldo e-money yang akan dikeluarkan dalam waktu dekat ini. Dia menilai, bahwa wacana penerapan pengenaan biaya top-up saldo e-money tersebut akan membebani masyarakat, meski industri dan regulator beralasan bahwa kebijakan ini untuk biaya investasi dan operasional.

“Terus terang tidak setuju ide ini, mengapa, karena jelas itu membebani masyarakat. Untuk punya kartunya saja sudah dibebani biaya pembelian, apalagi ini setiap top-up atau mengisi saldo dikenakan biaya lagi. Ini tidak fair, harusnya komponen biaya ini dibebankan saat ada transaksi dengan merchant, dan beban itu dibebankan kepada merchant. Kalau dipaksakan akan mengganggu gerakan non tunai,” paparnya.

Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo pun memberikan penjelasan mengenai biaya isi ulang untuk uang elektronik. Kebijakan yang saat ini masih digodok oleh BI ini kemungkinan akan dikeluarkan di akhir bulan ini. Menurutnya, pengenaan biaya top-up e-money tersebut perlu dilakukan. Karena, jika tidak, kemungkinan ketersediaan fasilitas top-up uang elektronik tersebut akan terbatas. Oleh sebab itu, dirinya meminta agar masyarakat dapat memahami terkait wacana ini.

“Kalau kita tidak berikan kesempatan perbankan menambah biaya top up, nanti ketersediaan sarana pengisian akan terbatas,” tambahnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News