Pemerintah Perlu Bangun Mental Industri ke Masyarakat

Pemerintah Perlu Bangun Mental Industri ke Masyarakat

Jakarta – Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat, mengungkapkan, mayoritas umat Islam yang menjadi warga negara ini umumnya tidak akrab dengan bank.

Usaha mereka juga dinilai tidak bankable. Sehingga mereka dinilainya lebih akrab dengan koperasi simpan pinjam sebagai modal usaha asongan kecil-kecilan.

“Pendeknya, hanya sekelompok minoritas kelas menengah ke atas yang mulai mengenal bank, itupun bukan sebagai pengusaha, tetapi menyangkut pengambilan gaji sebagai PNS, membayar SPP sebagai mahasiswa, atau menabung. Mereka masih hidup pada alam pikir agraris, sementara nasib petani tak kunjung membaik, sedangkan Indonesia juga belum masuk sebagai negara industri yang mapan,” kata Komaruddin dalam Seminar Nasional “Perilaku Pasar Keuangan Syariah di Tengah Gejala Post Islamisme”, di Hotel Shangrila Jakarta, Rabu, 26 September 2018.

Oleh karenanya ia menilai pemerintah dan bangsa ini mesti membangun mental industri (industrial mentality).

Industri dinilainya tidak hanya berkaitan dengan manufaktur, tetapi bisa masuk ke wilayah pariwisata, pertanian, bahkan juga pendidikan.

Salah satu elemen pokok dalam pembangunan mental industri adalah social capability. Mereka dinilainya selalu menjaga puncuality (tepat waktu), sadar akan kompetisi, senantiasa ingin memuaskan pelanggan, pintar membangun jaringan bisnis, menjaga kemitraan, inovatif, ownership, dan pandai membaca kebutuhan pasar.

“Pendeknya, mental industri selalu berusaha membaca dan menciptakan peluang pasar, menjaga kualitas produk, menetapkan harga semurah mungkin, namun memberi layanan secepat dan senyaman mungkin. Mental ini sangat penting dalam bisnis jasa. Tetapi hal ini sulit dicapai tanpa pendidikan yang didisain dengan bagus serta tersedia tempat praktek sebelum mereka terjun
ke dunia nyata,” jelasnya.

Masih kuatnya mental agraris dan mental piyayi, maka lowongan kerja dan status sebagai PNS masih jadi idaman para sarjana.

Di samping itu, lapangan kerja baru yang muncul tidak seimbang dengan kebutuhan pencari lapangan kerja yang selalu bertambah dari tahun ke tahun.

“Ketika mereka duduk di jajaran birokrasi mental melayani ini juga sangat rendah,” tutup Komaruddin. (*)

Related Posts

News Update

Top News