Pembahasan UU Tax Amnesty Dinilai Banyak Kejanggalanan

Pembahasan UU Tax Amnesty Dinilai Banyak Kejanggalanan

Jakarta–Kebijakan pemerintah terkait pengampunan pajak (tax amnesty) telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Namun, Pakar Komunikasi Publik Emrus Sihombing menganggap bahwa ada sejumlah kejanggalan dalam pembahasan UU tersebut.

Menurutnya, memang tujuan utama UU ini adalah untuk menggenjot penerimaan negara dari sisi perpajakan. Di mana pemerintah sendiri telah menambahkan penerimaan negara dari hasil dana repatriasi Tax Amnesty sebesar Rp165 triliun.

“Secara informal saya diskusi dengan kelompok kecil kementerian. Harusnya keluar dulu UU Tax Amnesty-nya baru masuk ke dalam APBN-P, pemerintah over confidence sekali kalau Tax Amnesty ini tidak ada yang gugat, lalu bagaimana kalau dibatalkan. Kedua, kenapa tidak dibongkar dulu orang-orang yang bermasalah. di PPATK ada kok siapa saja orang-orang yang bermasalah, yang belum bayar pajak,” ujar Emrus di Jakarta, Kamis, 14 Juli 2016.

Dia menilai, target penerimaan pajak negara dari hasil dana repatriasi Tax Amnesty yang ditetapkan sangatlah besar. Dengan Target Rp165 triliun berarti uang yang masuk ke Indonesia harus Rp4.000 triliunan. “Kalau memang asumsinya dari Rp165 triliun itu anggaplah 4% berarti uang yang masuk Indonesia bisa mencapai Rp4.000 triliun, berarti sekitar Rp600-an triliun uang masuk ke Indonesia tiap bulan,” tukasnya.

Kemudian kejanggalan lainnya, kata dia, mayoritas sidang pembahasan RUU ini dilakukan di ruang tertutup. Seharusnya, pembahasan tax amnesty ini tidak dilakukan secara tertutup sehingga masyarakat bisa tahu apa saja yang dibicarakan dalam pembahasan tax amnesty sebelum disahkan menjadi UU.

“Di dalam penelitian saya dari kacamata komunikasi politik kalau sifatnya bukan rahasia negara, ya terbuka saja jadi publik bisa tahu, rakyat tahu apa DPR kita prorakyat atau tidak. Nah Ini (Pembahasan Tax Amnesty) apakah layak dilakukan di ruang tertutup? kalau tertutup pasti ada diskusi yang dirahasiakan,” tegasnya.

Kejanggalan lainnya, yakni terkait dengan dana rapatriasi yang ditahan (lock up) selama 3 tahun. “Pemerintahan Jokowi juga tiga tahun lagi habis relatif pas kan. Dalam tiga tahun apa sih yang bisa dirasakan. Harusnya minimal 5 tahun sehingga uang itu bisa berputar di Indonesia,” tambah Emrus.

Kendati demikian, dirinya mengakui, jika kebijakan ini bisa berjalan sesuai dengan UU, maka itu merupakan keberhasilan pemerintahan Jokowi. Tetapi kalau gagal bukan cuma pemerintah saja yang harus disalahkan.

“Rekan-rekan DPR yang mendukung akan membawa positioning mereka, kalau gagal yang dukung tidak boleh cuci tangan. Jangan lepas tangan lempar ke eksekutif dengan mengatakan ‘oh itu bukan wilayah kami, itu wilayah eksekutif. Tidak bisa’. DPR juga harus tanggung jawab,” paparnya.

Sebelumnya, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menyetujui RUU Pengampunan pajak atau Tax Amnesty menjadi Undang-Undang. Adapun periode berlakunya tax amnesty dicanangkan sejak 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017. (*)

 

 

Editor: Paulus Yoga

Related Posts

News Update

Top News