Mitigasi Risiko dan Pengelolaan Arus Kas BPJS Kesehatan

Mitigasi Risiko dan Pengelolaan Arus Kas BPJS Kesehatan

Banyak ditemui praktik-praktik peserta baru membayar iuran saat sudah sakit/membutuhkan rawatan atau tindakan medis. Kebijakan BPJS Kesehatan menetapkan waktu tunggu 14 hari diharapkan dapat menekan “moral hazard” seperti itu.

Oleh Kemal Imam Santoso

DALAM peta jalan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menuju “Universal Coverage” secara umum segmentasi peserta BPJS Kesehatan terdiri atas enam kelompok. Satu, kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan jumlah sekitar 96,2 juta orang. Dua, kelompok pekerja penerima upah (PPU) sub-kelompok Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) aktif, dan pensiunan. Tiga, kelompok PPU sub-kelompok pekerja formal (PF). Total peserta kelompok II dan III adalah 29,8 juta orang. Empat, kelompok peserta bukan penerima upah (PBPU) berjumlah 11,7 juta orang. Lima, kelompok bukan pekerja (BP) sebanyak 4,9 juta orang. Jumlah peserta hingga April 2015 sebanyak 142,7 juta peserta. (Sumber data Harian Investor Daily, 1-2 Agustus 2015)

Kelima kelompok peserta ini memiliki karakteristik yang berbeda, demikian pula dengan sumber pembayaran iuran (premi) yang dibayarkan kepada BPJS Kesehatan. Perbedaan tersebut berdampak kepada strategi mitigasi risiko dan strategi pengaturan arus kas yang perlu dijalankan oleh BPJS Kesehatan.
Kelompok Satu

Kelompok peserta ini (berjumlah 96,2 juta jiwa) merupakan kelompok yang sebelumnya adalah peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pada saat itu pengelolaan kepesertaannya diserahkan kepada PT Askes (Persero). Sedangkan pembayaran klaim langsung dilakukan oleh Kementerian Kesehatan kepada fasilitas kesehatan. Sebelum tahun 2008, pembayaran klaim dilakukan oleh PT Askes dengan menggunakan tenaga verifikator.

Dalam pelaksanaan pembayaran klaim tersebut, PT Askes memiliki data dan informasi mengenai jenis jenis klaim yang diajukan oleh fasilitas kesehatan (rumah sakit) bagi setiap peserta Jamkesmas, sehingga PT Askes memiliki “database” yang cukup komprehensif untuk memetakan risiko kelompok Jamkesmas (risk profiling & mapping). Meski telah tujuh tahun dan selalu terdapat kemungkinan berubah, namun setidaknya data dan informasi yang terkumpul merupakan modal BPJS Kesehatan memahami risiko kelompok PBI tersebut.

Dari segi penerimaan iuran (premi) BPJS Kesehatan menerima dana sekitar Rp 22 triliun langsung dari pemerintah yang bersifat pasti, sehingga BPJS Kesehatan tidak akan mengalami kesulitan dalam pengaturan arus kas. Dengan kata lain, kelompok PBI memberikan kepastian penerimaan iuran (passive revenue bagi BPJS Kesehatan) karena ditanggung APBN dan profil risiko yang relatif sudah dipahami oleh BPJS Kesehatan.
Kelompok Dua

Apabila sebelumnya PT Askes mengelola jaminan kesehatan bagi PNS aktif dan pensiunan, serta pensiunan TNI dan Polri, maka sekarang BPJS Kesehatan juga mengelola jaminan kesehatan anggota TNI dan Polri yang aktif. Profil risiko kelompok ini juga telah dipahami oleh BPJS Kesehatan berdasarkan pengalaman pengelolaan jaminan kesehatan oleh PT Askes.

Dalam hal penerimaan iuran (premi), BPJS Kesehatan juga memperoleh kepastian (passive revenue) karena iuran dibayar oleh pemerintah dan peserta (yang berpenghasilan tetap), yang dalam hal ini dilakukan pemotongan langsung atas gaji dan mekanisme/operasionalisasi pembayaran telah berjalan selama ini sejak PT Askes.

Kelompok ini juga memberikan kepastian penerimaan iuran dan BPJS Kesehatan memiliki pemahaman yang memadai atas profil risiko.
Kelompok Tiga

Dibandingkan dengan kedua kelompok sebelumnya, kelompok pekerja formal (swasta dan BUMN) belum cukup “dikenal” oleh BPJS Kesehatan dalam profil risiko dan pola penerimaan iuran (premi), walaupun peserta adalah merupakan pekerja dengan penghasilan tetap. Penerimaan iuran (premi) relatif stabil dan sustain sepanjang tersedia sistem pembayaran yang mudah dan cepat, karena pada umumnya perusahaan/ pemberi kerja melakukan pembayaran melalui sistem perbankan setiap bulannya.

Profil risiko relatif belum dikenali, namun berbekal pengalaman pada profil risiko dan karakteristik demografi pada sub-kelompok PPU PNS dan TNI/Polri, hal ini dapat dikuasai dalam waktu singkat.

Kelompok ini merupakan “moderate risk-new territory “ bagi BPJS Kesehatan. Mereka harus mengumpulkan iuran secara aktif agar kesadaran melakukan pembayaran oleh pemberi kerja dan pekerja tetap tinggi, walaupun pembayaran tersebut sudah merupakan kewajiban mereka.

BPJS Kesehatan menetapkan peraturan yang mematok denda sebesar 2% per bulan bagi kelompok PPU dengan maksimum tunggakan tiga bulan. Bagi BPJS Kesehatan, risiko adanya tunggakan akan terjadi pada kelompok PPU pekerja formal (swasta dan BUMN). Pada kelompok I dan II hal ini hampir tidak mungkin terjadi karena adanya pemerintah sebagai pembayar iuran /pemberi kerja.

Bagi sektor swasta dan BUMN yang umumnya profit oriented, hal ini akan dipandang sebagai suatu ancaman/sanksi, namun tidak disertai dengan reward (berat sebelah). Apabila peraturan ini disertai dengan reward/insentif bagi perusahaan yang membayar di depan (prepaid) untuk suatu periode tertentu, maka perusahaan akan melakukan perhitungan komersial. Dan, pada gilirannya, BPJS Kesehatan dapat memperbaiki kondisi arus kasnya dan memperoleh imbal hasil investasi yang optimal (penempatan dana pada instrumen investasi yang memberikan imbal hasil lebih tinggi karena adanya kepastian jumlah dan tenor).

Strategi pemetaan sumber iuran swasta mutlak dibutuhkan karena seperti diketahui, sebagian perusahaan besar dimiliki oleh kelompok usaha yang sama atau pihak-pihak terkait. Bahkan, beberapa kelompok perusahaan besar pemiliknya saling terkait karena ikatan pernikahan. Kelompok perusahaan ini bergerak hampir di segala bidang, seperti manufaktur, industri makanan/minuman, transportasi, properti, asuransi, dan perbankan. Strategi yang mengarah kepada “win win solutions” akan amat diapresiasi oleh dunia swasta, sehingga “revenue stream” BPJS Kesehatan akan lebih stabil, melalui sistem pembayaran yang “seamless”, memberikan kenyamanan bagi peserta (pekerja swasta) .

Strategi yang dapat dilakukan pada kelompok pekerja BUMN secara teknis relatif lebih mudah dipetakan, mengingat sejarah PT Askes adalah sebagai BUMN yang telah membangun semangat sinergitas. Pemanfaatan berbagai infrastruktur yang dimiliki BUMN (kantor cabang, platform teknologi, sistem pembayaran, dan para pengelola dana investasi) akan menghasilkan kinerja BPJS Kesehatan yang andal dengan kualitas layanan baik. Semua ini pada gilirannya akan meningkatkan kredibilitas BPJS Kesehatan, terutama di mata kelompok pekerja formal (sebagai sumber “revenue stream” yang stabil)
Kelompok Empat dan Lima

Pada kelompok inilah BPJS Kesehatan berhadapan dengan “high risk -new territory”. Profil risiko tidak dikenal, karakterisktik demografi amat beragam, dan tingginya ketidakpastian “revenue stream”. Harian Investor Daily (1-2 Agustus 2015) memberitakan bahwa terdapat 2,1 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menunggak, dari jumlah tersebut 1,9 juta penunggak berasal dari PBPU. Jumlah ini secara persentase kecil dibandingkan dengan jumlah peserta yang 142 juta (hanya 1,4%).

Namun, tentunya harus dicermati lebih jauh adalah jumlah klaim yang harus dibayarkan bagi kelompok PBPU ini. Banyak ditemui praktik-praktik peserta baru membayar iuran saat sudah sakit/membutuhkan rawatan atau tindakan medis. Hal ini merupakan ekses dari tidak diberlakukannya “waktu tunggu” dan tidak dikenalnya persyaratan “pre existing condition” seperti yang berlaku pada asuransi komersial (yang pada umumnya menganut sistem indemnity versus BPJS Kesehatan dengan pola jaminan “managed care”). Kebijakan BPJS Kesehatan menetapkan waktu tunggu 14 hari tentu diharapkan dapat menekan “moral hazard” seperti itu.

Strategi pengumpulan iuran amat bergantung pada kegiatan edukasi yang masif  (saat ini sedang dilakukan BPJS Kesehatan) yang pada prinsipnya mengajarkan “bayarlah iuran sebelum sakit” dan mengedepankan kesadaran hidup gotong royong (prinsip jaminan sosial).

Kebijakan menerapkan parameter mitigasi risiko yang “khusus” bagi kelompok PBPU sebenarnya kurang selaras dengan filosofi jaminan sosial. Seharusnya semua peserta adalah sama (“equal”)

“Rigorous risk assessment” (asesmen risiko yang ketat)  sebenarnya dapat dilakukan pada jajaran terdepan dari infrastruktur JKN, yaitu fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I, yaitu puskesmas, klinik, dokter praktik perorangan , yang berjumlah sekitar 16.000 . Pada faskes tingkat I, BPJS Kesehatan memberikan pembayaran tetap di muka (biaya kapitasi), dengan rincian 60% harus digunakan untuk memberikan pelayanan kesehatan dan 40% bagi operasional faskes.

Diperkirakan BPJS Kesehatan membayar biaya kapitasi sebesar Rp8 triliun per tahun tanpa memandang jumlah peserta yang datang ke faskes tingkat I untuk mendapatkan layanan medis. Biaya sebesar ini dapat dimaksimalkan agar faskes tingkat I turut melakukan “risk assessment” kepada peserta dan mencermati tingkat rujukan.

BPJS Kesehatan tentu selalu melakukan monitoring atas kinerja faskes tingkat I secara periodik dan seyogyanya mereka dikelola sebagai “strategic business partners” yang memberlakukan sistem “reward dan punishment” yang transparan. Sehingga akan timbul persaingan sehat di antara faskes tingkat I dalam segala hal, mulai dari kualitas layanan, kenyamanan, dan juga “risk assessment”. Patut diingat bahwa semua peserta membayar dan sudah selayaknya mereka mendapatkan layanan dan jaminan kesehatan yang dijanjikan dalam JKN.

Penulis adalah praktisi asuransi dan perbankan. Tulisan ini merupakan pandangan profesional pribadi yang tidak mewakili suatu badan atau institusi formal.

Related Posts

News Update

Top News