Menimbang Pembatasan NIM

Menimbang Pembatasan NIM

Pada awal tahun banyak bank nasional memasang target bahwa NIM pada tahun berjalan akan berkisar pada angka tertentu. Bagaimana kalau salah satu sumber pendapatan dari bunga kredit yang gurih itu kelak justru dipangkas “habis” oleh regulator menjadi maksimal 4%? Paul Sutaryono

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera meluncurkan aturan baru berupa pembatasan pendapatan bunga bersih (net interest margin atau NIM). Batas atas NIM akan ditetapkan sebesar 4% sehingga bank nasional makin kompetitif dengan bank-bank di negara ASEAN dengan NIM yang berkisar pada angka 2%-4%.

Kelak OJK akan menyediakan insentif bagi bank nasional yang mau menurunkan NIM-nya. Otoritas menawarkan insentif berupa kemudahan dalam membuka jaringan kantor dan memperoleh izin penerbitan produk baru. Mampukah OJK menetapkan NIM pada angka tertentu? Seberapa tinggi NIM bank umum sebagai representasi empat kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU)?

Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 21 Februari 2016 mencatat, NIM bank umum mengalami kenaikan 116 basis point (bps) atau 1,16% dari 4,23% per Desember 2014 menjadi 5,39% per Desember 2015 sebagai rata-rata industri. Lirik saja rincian NIM menurut BUKU.

Ternyata, BUKU 4 yang merupakan bank nasional papan atas mencetak NIM paling tinggi (6,36%) per Desember 2015, yang melejit 126 bps (1,26%) dari 5,10% per Desember 2014. Kemudian, kelompok BUKU 1 mengikuti dengan NIM 5,89%, yang mendaki 7 bps (0,07%) dari 5,82%, berada di atas rata-rata industri yang sebesar 5,39%.

Dua kelompok bank lainnya, BUKU 2 dengan NIM yang naik signifikan 117 bps (1,17%) dari 3,54% menjadi 4,71% dan BUKU 3 dengan NIM yang meningkat tajam 105 bps (1,05%) dari 3,44% menjadi 4,49% pada periode yang sama. NIM kedua kelompok BUKU tersebut berada di bawah rata-rata industri yang tercatat 5,39%.

Selama empat tahun terakhir, NIM perbankan mencapai 5,49% pada Desember 2012. Lantas, pasang surut menjadi 4,89% pada 2013, 4,23% pada 2014, dan 5,39% pada 2015.

Pendapatan bunga bersih (NIM) menurut kelompok BUKU:

Kelompok Bank          Desember 2014          Desember 2015
BUKU 1                                          5,82%                           5,89%
BUKU 2                                          3,54%                           4,71%
BUKU 3                                          3,44%                           4,49%
BUKU 4                                          5,26%                           6,36%

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, 21 Februari 2016

Lagi-lagi, mampukah OJK membatasi NIM pada angka tertentu? Kalau tidak, bagaimana alternatif solusinya?

Masyarakat umum menilai bahwa NIM merupakan selisih antara suku bunga kredit dan suku bunga simpanan. Namun, sesungguhnya tidak sesederhana itu. Ingat, pencapaian profitabilitas itu bukan hanya berasal dari NIM.

Sebagai informasi saja, profitabilitas dapat diraih melalui pendapatan bunga bersih (net interest income atau NII), pendapatan operasional, dan pendapatan nonoperasional atau pendapatan berbasis komisi (fee based income). Adapun, fee based income meliputi fee, komisi, dan foreign exchange (forex), misalnya selisih kurs serta trade finance (transaksi ekspor, impor, bank garansi, dan produk derivatifnya).

Apalagi, saat ini bank nasional memiliki aneka sumber untuk memperoleh pendapatan dari komisi. Sebut saja, pendapatan dari pengelolaan rekening giro dan tabungan (current account and saving accounts atau CASA). Ditambah lagi, pendapatan dari pengelolaan SMS banking, internet banking, phone banking, dan mobile banking.

Oleh karena itu, suatu saat pendapatan dari nonoperasional (non interest income) atau pendapatan dari komisi akan mampu mengimbangi pendapatan dari bunga (interest income). Gejala itu makin tampak ketika penyaluran kredit mengalami musim paceklik, tapi laba tahunan ternyata tetap tinggi, terutama bagi bank nasional papan atas.

Setiap bank nasional memiliki beberapa komponen dalam menetapkan suku bunga kredit. Misalnya, biaya operasional, target laba, pajak, cadangan risiko kredit macet, dan total biaya dana. Contoh biaya operasional adalah biaya administrasi dan biaya tenaga kerja. Biaya ini akan berbeda-beda antara satu bank dan bank lainnya, antara lain tergantung pada struktur pendanaan (murah atau mahal). Dengan bahasa terang benderang, setiap dana yang berhasil dihimpun bank nasional sudah barang tentu membutuhkan biaya dana (cost of fund).

Maka, menjadi tak aneh ketika pada awal tahun banyak bank nasional sudah memasang target bahwa NIM pada tahun berjalan akan berkisar pada angka tertentu, misalnya 6%. Nah, bagaimana kalau salah satu sumber pendapatan dari bunga kredit yang gurih itu kelak justru dipangkas “habis” oleh regulator menjadi maksimal 4%?

Coba saja bayangkan, bagaimana nyeseknya kelak Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mengantongi NIM tertinggi (8%) per Desember 2015 harus menipiskan menjadi 4%. Demikian pula dengan Bank Mandiri dan Bank Central Asia (BCA) yang NIM-nya sekitar 7%, Bank Negara Indonesia (BNI) 6,5%, dan Bank Tabungan Negara (BTN) yang sebesar 4,87%.

Gampang diduga jauh sebelumnya bahwa pembatasan NIM itu akan memengaruhi perolehan laba tahunan. Mengapa? Lantaran, pendapatan bank nasional kelas kakap lebih banyak bersumber dari pengucuran kredit.

Tatkala usaha keras membatasi batas atas NIM 4% tidak tercapai dengan mulus, adakah upaya-upaya lain yang layak dipertimbangkan? Satu, memberdayakan suku bunga dasar kredit (SBDK) alias prime lending rates.
Sebagaimana diketahui, sebelum OJK terbentuk, efektif 31 Maret 2011 Bank Indonesia (BI) telah mewajibkan bank nasional untuk mengumumkan SBDK. SBDK yang wajib diumumkan adalah SBDK untuk kredit korporasi, kredit ritel dan kredit konsumsi, serta kredit mikro.

Sesungguhnya, SBDK itu sangat mirip dengan base lending rate (BLR) di Malaysia yang telah lebih dahulu berjalan. BI sendiri pernah menegaskan bahwa SBDK sudah lebih dahulu digunakan di Malaysia, Peru, India, dan Singapura.

Sebagai pengingat, SBDK adalah bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah. SBDK merupakan hasil perhitungan dari tiga komponen, yakni harga pokok dana untuk kredit, biaya overhead, dan margin keuntungan (profit margin).

Angka SBDK tersebut belum memuat premi risiko (risk premium) yang mempresentasikan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitor dengan mempertimbangkan, antara lain kondisi keuangan debitor, jangka waktu kredit, dan prospek usaha yang dibiayai. Sarinya, SBDK tidak sama dengan suku bunga kredit.

Harus diakui bahwa selama ini SBDK tampak belum sakti. Artinya, SBDK belum mampu menurunkan suku bunga kredit dengan signifikan. Akhirnya, OJK terpaksa memainkan jurus memotong batas atas (capping) suku bunga deposito maksimal 200 bps (2%) dan 225 bps (2,25%) di atas BI Rate atau 9,5% dan 9,75% masing-masing untuk BUKU 4 dan 3. Aturan itu berlaku untuk deposito dengan nominal di atas Rp2 miliar terhitung mulai 1 Oktober 2014.

Bahkan, pada awal Maret 2016 OJK kembali menurunkan batas atas suku bunga deposito maksimal 75 bps (0,75%) di atas BI Rate untuk BUKU 4 dan maksimal 100 bps (1%) untuk BUKU 3. Aturan tersebut efektif berlaku pada medio Maret 2016, mengingat banyak badan usaha milik negara (BUMN) sering minta suku bunga deposito yang lebih tinggi.

Kebijakan main potong suku bunga deposito seperti itu juga pernah dilakukan bank sentral jauh sebelumnya. BI pernah membuat kesepakatan dengan 14 bank nasional papan atas untuk menurunkan suku bunga deposito hingga 150 bps (1,5%) di atas BI Rate yang waktu itu mencapai 6,5% per Agustus 2009.

Melelehnya suku bunga deposito yang menyetrum turunnya suku bunga kredit secara otomatis akan menipiskan NIM. Kebijakan demikian memang tampak cespleng. Namun, ingat bahwa langkah itu tidak sejalan dengan mekanisme melalui SBDK.

Oleh karena itu, hendaknya OJK justru terus mendorong SBDK agar makin sakti dalam menurunkan suku bunga kredit pada level satu digit. Sudah semestinya SBDK berotot kawat dan bertulang besi seperti tokoh pewayangan Gatotkaca sehingga menjadi instrumen yang disegani. Dengan bahasa lebih lugas, sudah semestinya SBDK menjadi salah satu instrumen ampuh untuk menekan suku bunga kredit menjadi satu digit pada akhir 2016.

Dua, menetapkan batas atas rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) yang mencerminkan tingkat efisiensi suatu bank. SPI menunjukkan bahwa rasio BO/PO bank umum memburuk (makin kurang efisien) dari 76,29% per Desember 2014 menjadi 81,49% per Desember 2015. Sebagai perbandingan, BO/PO bank di negara ASEAN tercatat 40%-60%.

BUKU 4 (dengan modal inti minimum Rp30 triliun) ternyata menjadi kelompok bank yang paling efisien dengan rasio BO/PO 70,46% per Desember 2015. Meskipun, angka tersebut memburuk dari 67,10% per Desember 2014, di bawah rata-rata industri yang sebesar 81,49% dan rasio BO/PO ideal saat ini yang sebesar 70%-80%.

Peringkat itu disusul oleh bank BUKU 1 (modal inti kurang dari Rp1 triliun) dengan rasio BO/PO 86,36%, sedikit memburuk dari 86,26%. Kemudian, BUKU 2 (modal inti Rp1 triliun hingga kurang dari Rp5 triliun) menyusul dengan rasio BO/PO 89,43%, memburuk dari 81,04%. Sementara itu, BUKU 3 (modal inti Rp5 triliun hingga kurang dari Rp30 triliun) dengan BO/PO 89,53% memburuk dari 84,67%. Intinya, BO/PO tiga BUKU terakhir berada di atas rata-rata industri yang sebesar 81,49%. Itu berarti, kurang efisien.

Nah, inilah saatnya bagi OJK untuk menetapkan batas atas BO/PO. Hal itu bertujuan final supaya bank nasional makin mampu bersaing ketat. Bank nasional diwajibkan untuk meningkatkan kualitas efisiensinya secara bertahap. Tahap pertama BO/PO 65%-75% pada akhir 2016, tahap kedua 60%-70% pada 2017, tahap ketiga 55%-65% pada 2018, dan tahap keempat 50%-60% pada 2019.

Semua itu merupakan upaya perbaikan tingkat efisiensi sehingga bank nasional kian mampu bersaing dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2020 mendatang. Persiapan jangka panjang akan lebih jos daripada jurus sesaat. (*)

Penulis adalah pengamat perbankan.

Related Posts

News Update

Top News