Mendorong Akses Kredit UMKM, Mendorong Pertumbuhan

Mendorong Akses Kredit UMKM, Mendorong Pertumbuhan

Peningkatan akses modal atau akses kredit ke sektor UMKM, merupakan bagian dari upaya untuk menjawab kritik terhadap pertumbuhan ekonomi yang terlalu berbasis kepada korporasi besar. Rezkiana Nisaputra

Jakarta – Menurunnya daya beli masyarakat telah berdampak kepada penurunan produktivitas nasional. Penurunan teruatam  terjadi pada permintaan masyarakat terhadap produk industri pengolahan. Hal ini berdampakan kepada semakin banyaknya industri terutama usaha kecil dan menengah mengalami kesulitan kelangsungan usaha.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengemukakan, ditengah kondisi ini, peningkatan akses kredit UMKM dianggap sangat penting di tengah pelemahan ekonomi global dan nasional yang secara umum masih ditopang oleh kinerja korporasi-korporasi besar. Pengucuran kredit ke sektor pertanian, perdagangan, ekonomi kreatif, industri padat karya, dinilai dapat menciptakan geliat kegiatan ekonomi masyarakat menengah ke bawah dan menjaga daya beli.

“Dengan peningkatan akses kredit UMKM, pada akhirnya nantinya pertumbuhan ekonomi dapat meningkat dan kesenjangan dapat berkurang,” ujar Enny, di Jakarta, Senin, 24 Agustus 2015.

Menurut dia, peningkatan akses modal atau akses kredit ke sektor UMKM, merupakan bagian dari upaya untuk menjawab kritik terhadap pertumbuhan ekonomi yang terlalu berbasis kepada korporasi besar, sehingga dampak pengganda bagi pemerataan tidak optimal, sementara ketika ekonomi global melemah perekonomian domestik pun langsung ikut menurun.

“Peningkatan akses kredit UMKM sangat penting di tengah pelemahan ekonomi global dan nasional yang secara umum ditopang oleh kinerja korporasi-korporasi besar,” tukas Enny.

Dia mengungkapkan, total Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan nasional yang jumlahnya sekitar Rp4.224 triliun hingga Juni 2015, seharusnya tidak hanya dilokasikan kepada sektor korporasi besar. Porsi kredit ke sektor korporasi besar jumlahnya mencapai 80%. Hal ini menurut ini sensitif terhadap pertumbuhan PDB yang tinggi. Karenanya, perlu adanya alokasi ke sektor yang sensitif terhadap perluasan kesempatan kerja yang diperankan oleh UMKM.

Lebih lanjut Enny menambahkan, dalam peningkatan akses kredit UMKM ini, inovasi skim pembiayaan perlu dilakukan, mengingat usaha UMKM ini minim agunan. Karenanya, Ia berharap, pendekatan analisis kreditnya lebih tepat menggunakan pendekatan kelayakan usaha. Dengan demikian, pemihakan terhadap akses kredit ke sektor UMKM ini memerlukan dukungan dari otoritas moneter dalam bentuk payung regulasi.

“Bentuk payung regulasinya, yang mengadopsi alokasi berdasarkan kelayakan usaha, dan dukungan sistem perbankan dalam implementasi alokasi kredit berbasis kelayakan usaha,” ucap Enny.

Berdasarkan datanya, perkembangan kredit di sektor UMKM menunjukkan, total kredit UMKM dari perbankan pada 2014 mencapai sebesar Rp731,8 triliun atau mencapai 19,7% dari total kredit yang sebesar Rp3.706,5 triliun. Jika dibedah lebih dalam lagi berdasarkan klasifikasi usahanya,  maka sebesar 48,8% alokasi kredit UMKM mengalir ke Usaha Menengah yang mayoritas. Porsi kredit ke sektor perdagangan besar mencapai 50.5%. Ke sektor industri pengolahan 9,9%. Sementara dari sektor pertanian, perburuan, dan utanan sebesar 7,8%.

Sementara secara geografis, proporsi kredit UMKM sebagian besar disaturkan di Pulau Jawa 57,7%, Sumatera (20,7%), Sulawesi (7,1%). Hal tersebut menunjukkan bahwa akses kredit untuk sektor Usaha Mikro Kecil masih sangat minim, serta dari sisi lokasi usaha yang diberikan kredit juga terlalu didominasi di Jawa. (*)

@rezki_saputra

Related Posts

News Update

Top News