LPPI: Praktik GCG di Perbankan Semakin Menurun

LPPI: Praktik GCG di Perbankan Semakin Menurun

Jakarta – Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) melakukan survei terkait dengan praktik tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) di industri perbankan yang menunjukkan, bahwa penerapan GCG di perbankan terlihat mulai mengendur ketika maraknya pembobolan dana ataupun praktik fraud yang telah menimpa perbankan.

Demikian pernyataan tersebut seperti disampaikan oleh Kepala Riset LPPI, Lando Simatupang dalam seminar di Jakarta, Selasa, 31 Juli 2018. Menurutnya, selain maraknya pembobolan dana atau praktik fraud, tantangan praktik GCG akan lebih besar lagi ketika industri perbankan mulai mengadopsi teknologi digital dalam setiap produk dan layanannya.

Berdasarkan riset yang telah dilakukan LPPI, dalam 10 tahun terakhir yakni sejak 2007 sampai dengan 2017 menyimpulkan, nilai komposit dari penerapan GCG yang dilakukan industri perbankan memang masih berada dalam kisaran baik. ”Rata-rata nilai GCG industri perbankan adalah 2,02 yang didapat dari 90 bank yang mengirimkan laporan GCG self assessment-nya,” ujarnya.

Namun dalam perjalanannya nilai tersebut berfluktuasi. Dalam riset LPPI, ketika pertama kali diterapkan pada 2006, nilai rata-rata GCG industri perbankan berada di kisaran 1, yang berarti sangat baik. Baru setahun sejak diterapkan, nilai GCG perbankan terlihat memburuk. ”Malah, setelah sepanjang 2008-2010 penerapan GCG perbankan terlihat ada perbaikan, peringkatnya kembali memburuk dan mencapai puncaknya pada 2015,” ucapnya.

Jika ditengok ke belakang, sepanjang 2011 sampai demgan 2015 industri perbankan memang menghadapi persoalan yang tidak ringan terkait maraknya praktik kecurangan (fraud) yang menggerogoti beberapa bank umum.

Dalam riset yang dilakukan LPPI, bank diwajibkan untuk mengisi penilaian GCG dengan metode self assessment pada 11 aspek yang sudah ditetapkan oleh otoritas keuangan. Isian tersebut nantinya akan menghasilkan nilai akhir 1 sampai 5, di mana semakin tinggi angkanya berarti makin buruk penerapan GCG di bank tersebut.

Baca juga: Ancaman Keamanan Siber Jadi Risiko Besar Perbankan

Dengan nilai rata-rata di kisaran 2 maka secara tidak langsung industri perbankan di Indonesia mengungkapkan bahwa manajemen mereka telah melakukan penerapan GCG yang secara umum dinilai baik. Apabila terdapat kelemahan dalam penerapan prinsip GCG, maka secara umum kelemahan tersebut dinilai oleh perbankan kurang signifikan dan dapat diselesaikan dengan tindakan normal oleh manaiemen.

Riset ini juga bertujuan untuk melihat konsistensi pengelola dalam melakukan self assessment. Untuk yang pertama menggunakan statistik deskriptif, dan yang kedua memakai uji akar unit (unit root test) Augmented Dickey Fuller/ADF). Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari 100 bank, dari tahun 2007 – 2017, dan bersumber dari laporan GCG bank di Indonesia serta survei yang dikirimkan kepada seluruh bank.

“Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata GCG industri perbankan nasional adalah 2,05. Nilai tersebut masuk ke dalam Peringkat Komposit Baik,” papar Lando.

Bila berdasarkan kategori BUKU (Bank Umum Kelompok Usaha), maka BUKU 1 rata-ratanya 2,23, BUKU 2 mendapatkan nilai rata-rata 2,10. Lalu, BUKU 3 nilai rata-ratanya 1,85, dan BUKU 4 nilai rata-ratanya 1,25. Dengan demikian BUKU 4 mendapatkan Peringkat Sangat Baik. Dengan kata lain, bank-bank bermodal besar masih bisa mempertahankan praktik GCG di perusahaannya sesuai dengan ketentuan regulator.

Di Indonesia, perbankan nasional, wajib menjalankan GCG sejak Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/4/PBl/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum sebagaimana diubah dengan PBI No. 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 9/12/DPNP, tanggal 30 Mei 2007 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Kemudian sejak 2016, peraturan mengenai GCG merujuk kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 55/PO]K.03/2016.

Salah satu rangkaian aktivitas GCG setiap Bank Umum yang beroperasi di Indonesia melakukan self assessment secara mandiri dengan menggunakan prinsip TARIF, paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun. Hasil self assessment ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan pelaksanaan GCG. Perhitungan self assessment yang dikembangkan BI dan OJK yang tercantum dalam SEOJK No. 13 / SEOJK.03 / 2017 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum meliputi 11 faktor GCG perbankan dengan menggunakan ketentuan formula dan pembobotan.

Prinsip-Prinsip dalam praktik GCG disingkat dengan istilah TARIF. Pertama Transparansi, bahwa Untuk menjaga obyektifltas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan secara tepat waktu, dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Kedua, Akuntabilitas, perusahaan harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perlu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban di setiap perusahaan.

Ketiga, Responsibilitas yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan untuk menjaga kesinambungan usaha dalam jangka panjang. Keempat, Independensi. Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak lain. Kelima Fairness atau Kewajaran dan Kesetaraan. Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. (*)

Related Posts

News Update

Top News