Jokowi Perlu PERPU Memperkuat Rupiah: Menahan 75% Devisa Hasil Ekspor

Jokowi Perlu PERPU Memperkuat Rupiah: Menahan 75% Devisa Hasil Ekspor

Oleh : Eko B Supriyanto

Nilai tukar rupiah yang di pasar spot sempat menembus Rp14.000 membuat gusar banyak kalangan. Bank Indonesia yang juga masuk ke pasar dengan intervensi mengguyur dolar pun masih terus waspada. Bank Indonesia tetap menganut devisa bebas, meski ada usulan menahan devisa hasl ekspor yang lebih lama – atau menukar ke dalam rupiah lebih dulu.

Hasil diskusi dengan beberapa pakar dan bankir senior, sebaiknya BI diberi kewenangan lebih, yaitu mengawasi devisi dengan menahan devisa ekspor di dalam negeri yang lebih lama. Misalnya, 70% sampai 75% dari devisi ekspor lebih lama di bank-bank dalam negeri.

Ide menahan devisa hasil ekspor dan konversi ke rupiah ini tentu tidak popular bagi kalangan eksportir yang sebenarnya sudah menikmati hasil ekpor ini sudah puluhan tahun. Sudah saatnya para eksportir menjadi pahlawan untuk kemajuan dan kebangkitan ekonomi Indonesia. Para eksportir perlu “hati besar” dengan adanya kebijakan menahan devisa ekspor ini.

Selain, sudah puluhan tahun para eksportir menikmati hujan dolar, jika toh terjadi krisis para eksportir ini juga yang terkena akibatnya. Selain itu, juga perlu keberanian Tim Ekonomi Jokowi jika kita tidak ingin selalu diguncang-guncang shok dari luar.

Untuk itu, Pemerintah sebaiknya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) pengganti Undang-undang 24 Tahun 1999 tetang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Inti dari PERPU memberi kewenangan BI untuk mengawasi devisa dan bukan hanya mencatat devisi.

Konsep ini sepertinya kembali ke devisa kontrol tahun 1964, namun karena tidak seluruhnya maka kita tetap menganut devisa bebas. Katakanlah  menganut sistem devisa bebas terkendali. Jika hal ini dilakukan, maka pasokan dolar ke dalam negeri makin banyak — sehingga ketika terjadi shock terhadap rupiah kita masih punya otot kuat untuk manahan. Tanpa panik dan berasumsi rupiah akan melorot sampai seberapa lemah.

Hukum permintaan dan panawaran berlaku. Walau cadangan devisa cukup kuat saat ini, namun menambah pasokan dolar di dalam negeri akan lebih baik. Jangan sampai kreditnya bank-bank di dalam negeri menyimpannya di bank-bank di Singapura.

Pemerintahan Jokowi setidaknya membuat terobosan dengan membuat PERPU. Sebab, jika malakukan amandemen UU Lalu Lintas Devisa  dan  Sistem Nilai Tukar tentu lebih lama, (tidak 60 hari)  dan keburu dolar AS liar. Apalagi, kebijakan suku bunga di dalam negeri diperkirakan tak akan cepat merespon kebijakan suku bunga The Fed.

Lewat Peraturan Bank Indonesia No. 13 /20/PBI/2011 Tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, ditetapkan bahwa mekanisme pembayaran devisa hasil ekspor harus melalui bank devisa di Indonesia, yang berlaku efektif mulai 2 Januari 2012. Kebijakan ini memberbesar cadangan devisi seperti dilakukan oleh Thailand dan Malaysia bertahun tahun. Namun mudah sekali devisa itu terbang kembali ke bank-bank Singapura.

Pengaturan itu tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini, di mana setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam UU No.24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar – yang tentu lebih dulu di PERPU.

Namun tidak ada ketentuan menukar devisa hasil ekspor ke rupiah, seperti di Malaysia dan Thailand tentu kebijakan kewajiban menyimpan hasil ekspor di bank-bank relative hanya sebentar dan cepat pergi. Kuncinya adalah pada pasokan dolar ke dalam negeri dengan melakukan surrender ke rupiah seperti di Thailand surrender dengan Bath. Jika tidak semua tapi bisa dimulai 75% atau 50% lebih dulu.

Sejak akhir April ini, mata uang rupiah terus merosot.Mata uang rupiah tidak sendiri tapi dialami oleh mata uang dari berbagai Negara, seperti Ringgit (Malaysia), Bath (Thailand), Lyra (Turki). Mesosotnya mata uang dari Negara Negara itu dipicu oleh larinya dana ke Amerika Serikat (AS) akibat kebijakan suku bunga The Fed.

Kalangan dunia usaha dan pasar modal merasa cemas dengan merosotnya nilai rupiah. Bahkan, pasar spot dolar AS sempat menembus Rp14.000. Angka Rp.14.000 dinilai sebagai batas psikologis karena rupiah cukup lama di rentang Rp13.000-an. Jadi, sebaiknya pejabat tidak perlu menantang pasar atau over convidence dengan menyebut angka. Stress test adalah baik, tapi menyebut angka Rp20.000, tentu kurang bijak.

Kembali pada konsep menambah pasokan dolar ke dalam negeri diperlukan kekuatan yang luar biasa dari Pemerintah dan tentu Bank Indonesia sendiri. Jika rupiah stabil maka masyarakt juga akan lebih diuntungkan karena harga-harga bisa terkendali.

Bahwa pemerintah menyakinkan dengan mengatakan fundamental ekonomi cukup kuat dengan selalu mengatakan pertumbuhan ekonomi dan inflasi terkendali dengan kondisi bank-bank yang sehat. Namun kita terkadang lupa rantai produksi-distribusi dan konsumsi seringkali tidak sejalan.

Makro ekonomi yang baik, tapi mikro ekonomi sedikit lebih buruk. Tidak sejalannya makro ekonomi dengan mikro ekonomi tentu terlalu pede menyebut fundamental ekonomi kuat. Kondisi mikro dengan lambatnya penyaluran kredit membuktikan bahwa tidak sejalan dengan optimisme makro.

Bahwa mendorong industri berorientasi ekspor adalah baik dengan meningkatkan turis ke dalam negeri. Juga, menekan deficit Neraca Pembayaran juga sangatlah baik, namun dari tahun ke tahun tetap saja deficit karena neraca jasa jasa selalu “bolong” besar.

Jadi, untuk menambah kekuatan otot untuk menahan rupiah dari “tonjokan” dolar AS dengan memberi kewenangan lebih besar ke Bank Indonesia untuk mengawasi dengan Manahan 75% hasil devisa ekspor. Tapi kalau itu dianggap terlalu besar maka 50% saja sudah baik – sehingga kita masih menganut devisa bebas terkendali.

Intinya dari kewajiban menahan dolar lebih lama di bank-bank dalam negeri dengan melakukan surrender ke rupiah akan lebih membuat rupiah tahan gonjangan. Sudah sewajarnya eksportir dapat memahami karena sudah puluhan tahun menikmati boom sebagai eksportir. Eksportir akan menjadi pahlawan jika berbesar hati merelakan devisa hasil ekspornya ditaruh di dalam negeri.

Dan, Jokowi punya keberanian itu dan  jika ingin pula rupiah punya otot-otot kuat.(*)

 

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank. 

Related Posts

News Update

Top News