GCG, Peran Dekom, dan Rangkap Jabatan

GCG, Peran Dekom, dan Rangkap Jabatan

Kajian ADB  menunjukkan bahwa salah satu faktor yang memberi kontribusi pada krisis multidimensi yang menghantam Indonesia beberapa tahun silam tidak lain karena peran pengawasan dekom yang mandul. Wilson Arafat

Jakarta—Belum lama ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan bahwa anggota dewan komisaris (dekom) emiten/perusahaan publik dapat merangkap jabatan sebagai anggota direksi pada dua emiten atau perusahaan publik lain dan anggota dekom pada dua emiten atau perusahaan publik lain. Bukankah ini merupakan sebuah keniscayaan? Vice versa, apakah justru kontraproduktif?

Sejatinya, peran dekom dalam upaya menegakkan good corporate governance (GCG) di suatu perusahaan sungguh vital, terlebih bagi emiten/perusahaan publik. Egon Zehnder dengan sangat tegas menyatakan bahwa dekom itu adalah inti GCG. Merekalah pusat ketahanan dan/atau kesuksesan korporasi. Peran dan/atau tanggung jawab untuk mengawasi dan memberikan advice kepada manajemen, utamanya terkait dengan pelaksanaan atau eksekusi strategi; memastikan akuntabilitas; menjamin transparansi dan disclosure; serta menjalankan shareholders voice function suatu perusahaan, semua ada dalam “genggaman” dekom.

Nyatanya, menjalankan peran dekom secara paripurna bukanlah perkara ringan seperti halnya mengedipkan satu bola mata. Anggota dekom tidak hanya dituntut untuk memiliki keahlian khusus dan integritas yang tinggi, tapi juga dapat meluangkan waktu yang cukup serta fokus ketika melaksanakan semua tugas dan tanggung jawabnya. Caranya? Salah satunya tentu saja harus dituangkan dalam “ayat-ayat” regulasi.

Sebagai gambaran, Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah mengamanatkan kepada seluruh anggota dekom BUMN agar tidak memangku jabatan rangkap sebagai anggota direksi pada BUMN lain, badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dan/atau jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar anggota komisaris BUMN benar-benar mampu mencurahkan segenap tenaga, pikiran, dan/atau perhatian mereka secara penuh pada tugas, kewajiban, dan pencapaian tujuan seluruh perusahaan BUMN serta menghindari benturan kepentingan.

Jika segala perihal tersebut tidak dapat segera “dipenuhi” oleh suatu sistem perekonomian dan/atau bisnis, peran sentral dekom seketika menjadi mandul dan tumpul. Kendati demikian, ironisnya sejarah telah mencatat bahwa fenomena ini justru telah menjadi fakta empiris. Apa dampaknya? Begitu kontraproduktif, bukan? Dapat dengan mudah dibuktikan melalui dan/atau berdasarkan interaksi (termasuk hubungan interpersonal) yang terjadi antara dekom dan direksi yang begitu rendah, terutama yang telah terjadi pada beberapa dekade lampau. Istilah “rubber stamp” yang melekat pada organ dekom di Indonesia telah dikenal luas oleh masyarakat. Lebih ekstrem lagi, tidak jarang terjadi, dekom itu sekadar “pernak-pernik superfisial” manakala tidak terjadi interaksi sama sekali antara dekom dan direksi.

Alhasil, peran dekom sebagai pemberi nasihat dan tugas direksi menjalankan bisnis tidak berjalan harmonis. Bandingkan dengan Hunger dan Wheelen yang menyatakan bahwa tingkat interaksi yang tinggi antara dekom dan direksi, terutama dalam manajemen strategik, berhubungan positif dengan kinerja keuangan korporasi. Dengan demikian, mudah dipahami bila suatu sistem perekonomian dan/atau bisnis yang telah “membiarkan” para dekom alpa dalam mengemban peran strategis mereka, maka seketika itu terjadi dampak yang begitu signifikan. Bahkan, dekom yang mandul dapat menghancurkan perekonomian suatu bangsa.

Related Posts

News Update

Top News