Duh, Kredit Macet Dikriminalisasi Lagi!

Duh, Kredit Macet Dikriminalisasi Lagi!

oleh Eko B. Supriyanto

 

BAK cerita bersambung, selalu saja berulang sepanjang masa. Eko Budiwiyono, mantan Direktur Utama Bank DKI, melanjutkan kisah Winnie Erwindia, yang juga mantan Direktur Utama Bank DKI, menjadi tersangka karena kasus kredit macet. Bahkan, Eko Budiwiyono dan Winnie Erwindia melanjutkan cerita senior mereka, Maman Surachman, yang juga mantan Direktur Utama Bank DKI (dua periode sebelum Winnie Erwindia) dan terkena kasus yang sama.

Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkan dua tersangka dalam kasus pemberian fasilitas kredit Bank DKI kepada PT Likotama Harum. Mereka adalah mantan Direktur Utama Bank DKI, Eko Budiwiyono dan mantan Direktur Pemasaran Bank DKI, Mulyatno Wibowo. Sebelumnya, Kejaksaan menetapkan empat tersangka lain, yakni Dulles Tampubolon selaku Group Head Kredit Komersial Korporasi Bank DKI, Hendri Kartika Andri selaku account officer korporasi Bank DKI, Supendi selaku pemilik PT Likotama Harum, dan Gusti Indra selaku pemimpin analisis risiko Bank DKI. Dulles, Hendri, dan Supendi sudah masuk tahap penuntutan.

Cerita kredit macet menjadi cerita korupsi berawal ketika kedua tersangka yang berwenang sebagai pemutus kredit tetap memberikan kredit kepada PT Likotama Harum. Mereka dikenai Pasal 2 dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perusahaan konstruksi ini mengajukan kredit modal kerja sebesar Rp230 miliar untuk pengerjaan proyek pembangunan jembatan Selat Rengit, Riau, sebesar Rp212 miliar; pembangunan pelabuhan kawasan Dorak, Selat Panjang, Riau (Rp83,5 miliar); pembangunan gedung Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Kebumen (Rp94,2 miliar); dan pengadaan konstruksi bangunan sisi utara di Kabupaten Paser, Kalimantan (Rp389,9 miliar).

Menurut Kejaksaan Tinggi DKI, Likotama tak mengerjakan proyek-proyek tersebut. Likotama justru menyalurkan dana tersebut kepada pihak lain. Proyek-proyek itu dikerjakan perusahaan lain dan belum selesai—yang menurut beberapa media karena proyeknya dihentikan lantaran kepala daerahnya ganti atau minta perjanjian baru. Dari sini sebenarnya proyeknya tidak fiktif. Pemberian kredit itu wajar. Kredit pun disetujui oleh komite kredit.

Sementara, dilihat dari jaminan pun telah memenuhi ketentuan yang berlaku, dengan jaminan fixed assets berupa tanah dan bangunan yang ada di DKI Jakarta, Tangerang, dan Jawa Barat. Bahkan, dalam Memo Analisis Kredit (MAK) maupun saat presentasi di depan komite kredit, tidak ada informasi negatif mengenai Likotama maupun Supendi sebagai komisarisnya yang pada 2014 tersangkut kasus korupsi lain. Pengurus Likotama (pada 2013) tidak ada yang di-black list Bank Indonesia (BI). Hasil Sistem Informasi Debitor (SID) juga menunjukkan tidak adanya tunggakan debitor maupun pengurus di bank lain.

Menurut catatan Infobank pada tahun lalu, pertimbangan lain direksi Bank DKI untuk menyetujui usulan kredit Likotama waktu itu adalah perusahaan tersebut telah menjadi debitor sejak 2006. Selama menjadi debitor, Likotama selalu memenuhi kewajibannya dengan baik dan tepat waktu. Proyek yang diajukan pembiayaannya pun merupakan proyek yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang selama ini memiliki payment risk yang kecil.

Kredit macet yang sudah didasarkan pertimbangan business judgement tentu tidak bisa dibilang korupsi. Itu bagian dari risiko bisnis yang sudah dihitung. Penggunaan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidaklah tepat. Penanganan kasus kredit macet yang hanya semata-mata dipandang sebagai suatu manifes perbuatan korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, dapat menimbulkan implikasi pada rusaknya law enforcement dan kepastian hukum di republik ini.

Soal perjanjian atau pemberian kredit antara perbankan dengan nasabah, perkara hukumnya masuk dalam ranah perdata. Sebab, masalah di bank harus diselesaikan secara hukum korporasi. Dengan demikian, jika pihak perbankan dan nasabah telah ada kesepakatan, tapi kemudian terjadi kredit macet, kedua belah pihak harus tunduk pada hukum perdata.

Perjanjian kredit bank adalah kontrak yang objeknya kredit bank. Maka, pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit tunduk pada hukum perdata. Jika terjadi perselisihan, diselesaikan dulu dari perdata, selanjutnya rapat umum pemegang saham (RUPS) akan meminta pertanggungjawaban, bukan langsung ke ranah pidana.

Dan, dalam menjalankan bisnis kredit, bank biasanya menerapkan suatu prosedur baku yang mengacu pada prinsip kehati-hatian (prudential banking). Artinya, kredit macet bagian dari bisnis kredit itu sendiri, meski faktor penyebabnya dapat beraneka ragam, baik dari sisi internal maupun eksternal bank.

Jika kriminalisasi kredit macet di lingkungan bank pembangunan daerah (BPD) dan bank badan usaha milik negara (BUMN) dibiarkan, seluruh direksi BPD dan bank BUMN akan menjadi tersangka saat ini. Sebab, semua bank tidak ada yang tidak mempunyai kredit macet sekarang ini. Kredit macet merupakan bagian dari risiko yang sudah diperhitungkan. Kecuali jika kredit itu fiktif, dan dalam kasus Bank DKI itu bukanlah kredit fiktif karena proyeknya ada. Ini risiko bisnis seperti kredit macet pada umumnya.

Harusnya, sepanjang kredit sudah diberikan dengan benar, dengan prosedur benar, maka kemacetan adalah risiko. Apalagi, Eko Budiwiyono adalah bankir profesional yang sudah malang melintang di industri perbankan selama lebih dari 30 tahun. Sudah seharusnya kredit macet karena risiko bisnis tidak dikriminalisasi lagi.

Itu preseden buruk bagi bankir-bankir BUMN dan sudah pasti bankir BPD. Karena, sekarang ini kredit macet itu hal yang biasa di perbankan. Mana ada bank yang tidak ada kredit macetnya? Janganlah para bankir pelat merah baik mudah dikriminalisasi. (*)

 

Penulis adalah Pimpinan Redaksi Majalah Infobank

Related Posts

News Update

Top News