Dana Repatriasi Pajak Untuk Siapa?

Dana Repatriasi Pajak Untuk Siapa?

Jakarta–Kebijakan tax amensty (pengampunan pajak) telah resmi menjadi Undang-Undang. Dengan begitu, diharapkan peneriman pajak dapat ditingkatkan sehingga akan menambah penerimaan negara nantinya.

Namun begitu, dana repatriasi dari kebijakan pengampunan pajak ini diharapkan tidak hanya berputar di sektor keuangan dan pasar modal saja. Melainkan harus ke sektor-sektor produktif, sehingga akan menggerakkan perekonomian secara keseluruhan.

Hitung-hitungan penerimaan dari UU pengampunan pajak ini dinilai masih simpang siur. Banyak prediksi yang terlalu tinggi. Bahkan ada yang menyebut dana di luar negeri dari orang Indonesia mencapai kisaran Rp10.000 triliun sampai dengan Rp11.000 triliun.

Akan tetapi, banyak juga yang hanya memprediksikan sekitar Rp5.000 triliun sampai Rp6.000 triliun karena dana-dana asing yang masuk ke Indonesia sejatinya sebagian besar milik orang Indonesia. Pasalnya, dana-dana yang masuk ke pasar modal lewat lembaga-lembaga investasi asing dipercaya sebagian besar milik orang Indonesia.

Anggota Komisi XI DPR-RI Ecky Awal Mucharam mengatakan, dana repatriasi dari pengampunan pajak ini tidak ideal jika hanya di investasikan di sektor keuangan dan pasar modal saja. Dirinya menegaskan, seharusnya dana tax amnesty ini diinvestasikan ke sektor-sektor yang dibutuhkan negara atau produktif.

“Itu dana repatriasi untuk siapa?. Datang ke indonesia kemudian beli Surat Utang Negara (SUN). SUN itu dapat bunga yield-nya 8%, padahal dia (pemilik dana) cuma bayar 1%. Yang rugi siapa, kan pemerintah. Kenapa enggak dimasukkan ke sektor investasi yang dibutuhkan negara, yang tidak terlalu diminati,” ujar Ecky di Jakarta, Kamis, 14 Juli 2016.

Sementara itu, kebijakan tax amnesty ini tak dimungkiri juga untuk menambah penerimaan pajak buat kas APBN 2016. Hitungan optimistis bisa ada tambahan Rp100 triliun sampai dengan Rp200 triliun jika data Rp11.000 triliun itu benar. Akan tetapi, banyak yang percaya angka tambahan penerimaan pajak dari kebijakan tax amnesty ini tidak lebih dari Rp65 triliun.

“Katanya tax amnesty ini untuk menambah penerimaan negara yang kurang. Di 2016 dari sejak awal, kenaikan penerimaan negara yang sekarang itu tidak logis. Penerimaan negara itu sebelumnya naik 15%, sekarang naik menjadi 30%. Saya rasa itu tidak akan tercapai, dan tidak masuk akal dari segi apapun,” lanjut Ecky.

Kebijakan tax amnesty ini memang pernah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada 1984. Saat itu pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut hanya dengan keputusan presiden (keppres). Kebijakan tax amnesty model lama itu dikeluarkan karena pemerintah ingin melakukan restrukturisasi perpajakan dikarenakan penghasilan ekspor nonmigas sudah melemah sehingga mengandalkan pendapatan negara dari pajak.

Kebijakan tax amnesty pada 1984 tidak memberikan dampak signifikan karena tidak ada keterbukaan informasi secara otomatis. Itu artinya urgensi tax amnesty kali ini bisa jadi jauh lebih signifikan dibandingkan dengan tax amnesty atau kebijakan sunset policy pada 2008 saat Indonesia terkena krisis.

Banyak negara yang gagal menerapkan kebijakan tax amnesty ini, seperti Rusia dan Prancis. Yang relatif berhasil ialah India, Italia, Irlandia, dan Afrika Selatan. Rusia melakukan keterbukaan informasi dan Prancis melakukan repatriasi. Italia melakukan hal yang sama dengan Prancis, tapi Italia lebih berhasil. Sementara itu, India menawarkan obligasi khusus bebas pajak. Jadi, apakah Indonesia akan berhasil?. (*)

 

 

Editor: Paulus Yoga

Related Posts

News Update

Top News