Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Bunga Acuan ECB

Dampak Kebijakan Penurunan Tingkat Bunga Acuan ECB

oleh Agung Galih Satwiko

 

EUROPEAN CENTRAL BANK (ECB) kemarin memutuskan untuk kembali menurunkan tingkat bunga acuan. Refinancing rate (lending rate) diturunkan dari 0,05% ke 0%, sementara deposit rate diturunkan 10 bps ke minus 0,40%. Selain itu ECB juga mengumumkan tambahan jumlah QE dari yang sebelumnya 60 miliar Euro per bulan menjadi 80 miliar Euro per bulan. Cakupan asset yang dapat dibeli juga bertambah yaitu kini menyertakan obligasi korporasi nonbank di Eropa (dengan denominasi dalam mata uang Euro dan memiliki rating investment grade).

Keputusan ECB tersebut diambil dengan latar belakang terjadinya deflasi di zona Eropa (deflasi 0,2% di bulan Februari), pelambatan ekonomi China akibat transisi menuju ekonomi berbasis konsumsi, dan pelambatan ekonomi di Negara berkembang lainnya termasuk resesi yang terjadi di Brazil dan Rusia. ECB memperkirakan inflasi masih akan negatif dalam beberapa bulan ke depan dan akan naik pada bulan-bulan selanjutnya menjelang akhir 2016. ECB memperkirakan inflasi zona Eropa tahun 2016 di sekitar 0,1% yoy. Sementara itu pertumbuhan ekonomi zona Eropa tahun 2016 juga diturunkan dari 1,7% menjadi 1,4%.

Dalam pernyataannya ECB menyatakan bahwa masing-masing stimulus dirancang sedemikian rupa untuk memberikan dampak maksimum dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menaikkan harga-harga barang. ECB juga ingin menunjukkan bahwa ECB tidak kekurangan amunisi, dan siap untuk menurunkan kembali tingkat bunga meskipun hal itu tidak akan terjadi lagi dalam waktu dekat.

Pada perdagangan kemarin, mata uang Euro sempat melemah setelah pengumuman, dari sekitar USD1,099 per Euro menjadi USD1,082 per Euro, namun kemudian justru menguat kembali hingga menjadi USD1,12 per Euro. Pelaku pasar nampaknya memperkirakan bahwa langkah ECB dan gesture/persistensi ECB dalam mengkomunikasikan kebijakan moneternya yang tegas dengan memberikan semua stimulus yang dimungkinkan untuk mengangkat ekonomi Eropa berdampak positif. Draghi menyebut langkah berani ECB sebagai langkah keluar dari mentalitas “nein zu allem – no to everything” yang ditunjukkan oleh sebagian anggota Euro yang konservatif.

Chief Economist UniCredit Erik Nielsen menyebutkan, bahwa meskipun banyak yang berargumentasi tingkat bunga negatif akan berdampak pada menurunnya profit perbankan dan kontraproduktif, namun sejatinya hal tersebut harus dipandang sebagai berita bagus bagi perbankan karena terdapat potensi ekspansi kredit. Di Eropa, average composite cost of borrowing bagi korporasi nonbank telah turun dari sekitar 3,5% per tahun pada Februari 2012 menjadi 2,1% per tahun pada bulan Februari 2016.

Bagaimana dampak terhadap aliran modal ke negara berkembang termasuk Indonesia? Dinamika capital flows tidak hanya tergantung pada kebijakan suatu negara. Secara intuitif banyak yang akan menyebutkan bahwa tingkat bunga rendah/negatif di Eropa membuat dana dari Eropa mengalir ke negara berkembang. Namun demikian kenyataannya tidak selalu demikian. Sepanjang tahun 2015 tingkat bunga rendah dan negatif di Eropa tidak mendukung capital inflows ke negara berkembang, justru yang terjadi adalah net capital outflows. IIF mencatat capital outflows dari negara berkembang tahun 2015 mencapai USD735 miliar, dan 2014 sebesar USD111 miliar.

Hal yang turut berpengaruh terhadap capital flows tersebut antara lain divergensi kebijakan moneter, dimana saat Eropa dan Jepang serta banyak negara lain berlomba menurunkan tingkat bunga, AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia justru dalam trajektori peningkatan/normalisasi tingkat bunga. Selain itu kinerja perekonomian negara berkembang juga tidak terlalu menjanjikan. Perekonomian China melambat dari 10,6% pada tahun 2010 menjadi 6,9% pada tahun 2015. Tahun ini China memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6,5% sampai 7%.

Pertumbuhan ekonomi Brazil tahun 2015 tercatat minus 3,8% dengan tingkat inflasi yang tinggi yaitu sebesar 11%. Ekonomi Brazil terjebak dalam stagflasi, yaitu kombinasi tingginya inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang negatif. Demikian juga dengan Rusia. IMF dan World Bank memperkirakan pertumbuhan ekonomi Rusia tahun 2015 masing-masing sebesar minus 3,7% dan minus 3,8%. Turunnya harga komoditas dan minyak secara umum membuat negara berkembang yang umumnya pengekspor komoditas dan minyak menghadapi tekanan.

Indonesia masih lebih baik. Meskipun pada tahun 2015 IHSG membukukan hasil negatif sebesar 12,1% dan net capital outflows sebesar Rp22,6 triliun, namun di pasar obligasi (SBN), indeks Obligasi Pemerintah membukukan positive return 3,3% dan mencatat net capital inflows sebesar Rp97,2 triliun. Demikian juga di tahun 2016 ini, sampai tanggal 4 Maret, dana asing neto yang masuk ke pasar SBN mencapai Rp32,16 triliun, sementara dana asing neto yang masuk ke pasar saham mencapai Rp3,8 triliun.

Penurunan tingkat bunga oleh ECB pada bulan Desember 2015 lalu, diikuti dengan penurunan tingkat bunga oleh Jepang pada akhir Januari 2016, dan penurunan kembali tingkat bunga acuan oleh ECB kemarin diperkirakan tidak akan berdampak signifikan terhadap capital flows ke negara berkembang. Dinamika normalisasi tingkat bunga AS yang justru menaikkan tingkat bunga acuan bulan Desember lalu dan kekuatan ekonomi masing-masing negara berkembang turut berperan dalam menentukan besarnya capital flows ke negara berkembang.

Namun demikian dampak yang mungkin lebih nyata bagi Indonesia adalah turunnya yield SUN global dalam mata uang Euro. Yield SUN global dalam mata uang Euro yang diterbitkan tanggal 8 Juli 2014 dengan kupon 2,875% dan jatuh tempo 8 Juli 2021, turun dari sekitar 3,17% pada pertengahan Desember 2015 menjadi 2,57% kemarin (turun 60 bps dalam waktu 3 bulan). Dalam periode yang sama, mata uang Rupiah menguat terhadap Euro dari Rp15.481 per Euro menjadi Rp14.667 per Euro (menguat Rp814 dalam 3 bulan).

Turunnya yield SUN valas dalam mata uang Euro menjadi berita baik bagi Pemerintah maupun korporasi di Indonesia yang akan menerbitkan obligasi valas dalam mata uang Euro, karena biaya penerbitan menjadi lebih murah. Terlebih apabila mata uang Rupiah stabil terhadap Euro, atau justru menguat sebagaimana dalam 3 bulan terakhir. (*)

Penulis adalah staf Wakil Ketua DK OJK

Related Posts

News Update

Top News