Catatatan Sigit Pramono Tentang Robby Djohan

Catatatan Sigit Pramono Tentang Robby Djohan

DI INDONESIA tidak banyak bankir yang bisa mencapai tingkatan sekelas legenda di dunia perbankan. Robby Djohan adalah salah satunya.

Bankir yang mulai berkarir di Citibank ini kemudian membangun namanya ketika ia mengembangkan dan membesarkan Bank Niaga. Keberhasilannya di Bank Niaga sekaligus juga membesarkan namanya. Robby semakin berkibar setelah ia berhasil melakukan restrukturisasi Garuda Indonesia yang sedang  sekarat. Dengan kesuksesannya di Garuda, Robby membuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang andal. Bukan sekadar bankir yang andal, namun Robby tetap saja lebih dikenal sebagai bankir.

Jadi tidaklah terlalu mengagetkan ketika Robby ditunjuk oleh Presiden B.J. Habibie sebagai CEO Bank Mandiri, bank hasil merger 4 bank BUMN; Bank Bumi Daya, Bank Exim, Bank Dagang Negara dan Bapindo. Tanri Abeng, Menteri BUMN pada waktu itu, dalam suatu kesempatan mengatakan, bahwa ia mengusulkan Robby Djohan kepada Presiden B.J. Habibie karena kekuatan Robby adalah kecepatannya dalam bertindak dan mengambil keputusan.
Robby sendiri sangat mempercayai bahwa seorang pemimpin baru dikatakan pemimpin jika ia lulus memimpin ketika terjadi krisis. “Crisis can test your skill as a leader,” kata Robby. Dan memimpin dalam situasi krisis, lanjut Robby, tidaklah sama dengan memimpin dalam situasi normal.  Krisis mengharuskan seorang pemimpin bekerja lebih keras, dan membuat keputusan yang tepat secara cepat, serta mengimplementasikannya secara tegas. Krisis menuntut “a no nonsense leader”.

Kelebihan lain dari Robby Djohan yang dikenal sebagai  bankir bertangan dingin, ialah sangat pandai memilih orang. Dan bagusnya Robby, ketika dia sudah menentukan seseorang menjadi anggota timnya dia akan mempercayai orang itu dengan penuh. Dia akan memberikan kewenangan penuh. Bahkan jika anggota timnya salahpun dia menjamin dia yang akan bertanggung jawab. Karena ia pemimpinnya. Jaminan semacam ini bukan menyebabkan anak buah menjadi sembarangan dalam bertindak, justru membuat mereka lebih percaya diri dalam mengambil keputusan dan bertindak.

Kualitas pemimpin semacam ini sangat jarang dijumpai dewasa ini. Yang banyak terjadi justru banyak pemimpin  yang membiarkan anak buahnya menanggung beban kesalahannya sendiri.

Saya beruntung pernah bekerja dengan Robby Djohan sebagai anggota “the dream team” untuk melakukan merger Bank Mandiri. Ketika Bank Mandiri “terpaksa” harus menerima Deutsche Bank sebagai konsultan merger sebagai konsekuensi syarat IMF, Robby minta orang Deutsche Bank harus ikut bekerja. Bukan hanya memberi tahu ini itu kepada orang-orang Bank Mandiri. Dan Robby memberikan syarat yang lain, orang Deutsche Bank harus menjadi anak buah timnya, bukan sebagai atasan. Robby terus meyakinkan orang Deutsche Bank bahwa anggota timnya adalah orang-orang terpilih yang sangat mengetahui pekerjaannya. Maka ketika itu akhirnya saya punya anak buah kepala divisi dari orang Deutsche Bank (satu orang Jerman dan satu orang Argentina) yang membantu proses restrukturisasi kredit Bank Mandiri. Mereka ikut bekerja langsung, bukan sekadar sebagai konsultan.

Robby pernah bercerita bahwa ketika ditunjuk sebagai Dirut Garuda ada kemungkinan waktu itu Tanri Abeng berbohong bahwa Presiden Soeharto sudah menyetujuinya sehingga ia tidak berani menolak. Dan ketika dia akan diminta menjadi Dirut Bank Mandiri serta menghadap B.J. Habibie bersama Tanri Abeng, dia juga tidak bisa menolak karena Habibie ternyata memberikan dukungan luar biasa.

Pada hari Jumat, 13 Mei 2016 pukul 14.39 , Robby Djohan memenuhi panggilan Sang Maha Pemimpin. Kali ini sudah pasti dia tidak kuasa menolak. Selamat jalan Pak Robby, semoga Sang Khalik memberikan tempat terbaik untukmu di sisiNya. (*)

 

Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas /Anggota Tim Eksekutif Manajemen Restrukturisasi Bank Mandiri

Related Posts

News Update

Top News