BI Pilih Longgarkan Kebijakan Moneter Dari Sisi Makroprudensial

BI Pilih Longgarkan Kebijakan Moneter Dari Sisi Makroprudensial

Jakarta – Bank Indonesia (BI) mengaku sudah tidak mempunyai ruang lagi untuk menunurunkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate yang saat ini sebesar 4,25 persen, namun upaya pelonggaran moneter akan lebih agresif melalui kebijakan makroprudensial.

“Kami sudah delapan kali menurunkan suku bunga, sehingga sudah banyak sekali. Jadi, pelonggaran moneter lewat suku bunga sudah tidak ada lagi,” ujar Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara di Jakarta, Selasa, 31 Oktober 2017.

Menurutnya, upaya menjaga stabilitas ekonomi akan dilakukan BI secara agresif dengan melonggarkan kebijakan moneter dari sisi makroprudensial. “Kalau pelonggaran melalui makroprudensial, kami akan melakukan pengaturan LTV Spasial dan mengubah ketentuan LFR menjadi FFR,” ujar Mirza.

Asal tahu saja, aturan LTV Spasial atau rasio kredit terhadap nilai agunan berdasarkan wilayah rencananya akan dikeluarkan dalam waktu dekat di akhir tahun ini. Relaksasi tambahan LTV yang disesuaikan keadaan provinsi ini merupakan salah satu pelonggaran kebijakan makroprudensial BI.

Sementara terkait dengan relaksasi rasio pembiayaan terhadap pendanaan (LFR) yang nantinya akan diubah menjadi skema Financing Funding to Ratio (LFR) ini untuk menambah komponen perhitungan pembiayaan tersebut dengan pembelian obligasi korporasi yang dilakukan bank dan bukan hanya melalui penyaluran kredit saja.

Lebih lanjut Mirza menjelaskan, tertutupnya ruang untuk menurunkan suku bunga acuan juga terkait dengan dengan tren perbaikan kondisi makroekonomi di dalam negeri. “Inflasi kita terus menurun dan terkendali, pertumbuhan ekonomi membaik dan current account deficit lebih rendah,” ucapnya.

Selain itu, upaya mengoptimalkan pelonggaran moneter melalui kebijakan makroprudensial juga terkait dengan rencana Federal Reserve AS yang akan menaikkan suku bunga pada Desember tahun ini. “Fed funds rate mau naik lagi di Desember dan tahun depan juga akan dinaikkan lagi sebanyak dua atau tiga kali,” tegas Mirza.

Dirinya mengungkapkan, sepanjang 2013-2016 perekonomian Indonesia mengalami tren perlambatan akibat kejatuhan harga komoditas pertambangan dan perkebunan. Terlebih lagi, kata dia, China sebagai importir komoditas dari Indonesia menurunkan pertumbuhan ekonomi di bawah 7 persen.

“Tetapi, pada tahun ini perekonomian kita mulai mencapai kondisi yang stabil, justru setelah Amerika menaikkan suku bunga Fed. Kondisi stabil juga dipengaruhi oleh sikap AS yang mengubah pola komunikasi sebelum menaikkan suku bunga,” paparnya.

Sehingga, kata Mirza, pengumuman The Fed sebelum menaikkan suku bunga tersebut membuat kondisi perekonomian Indonesia lebih stabil dalam merespon kenaikan fed funds rate. “Karena, kondisi makroekonomi kita yang terus membaik. Kami cermati realisasi inflasi, ekspor dan impor, APBN dan situasi global,” tutupnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News