Belajar dari Kasus SNP Finance

Belajar dari Kasus SNP Finance

Oleh Paul Sutaryono

TANPA diduga, Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) mengalami gagal bayar untuk memenuhi kewajiban membayar bunga surat utang jangka menengah atau medium term notes (MTN). Ada dua seri MTN yang bunganya belum dibayar: Rp5,25 miliar pada 9 Mei 2018 dan Rp1,5 miliar pada 14 Mei 2018 sehingga total Rp6,75 miliar. Pelajaran berharga (lesson learned) apa saja yang dapat dipetik dari kasus itu?

Kasus tersebut telah menambah jumlah perusahaan pembiayaan (multifinance) yang izinnya dicabut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2017-2018 yang menimpa delapan multifinance yakni PT Patra Multifinance, PT Rukun Rahardjo Sedaya, PT Arjuna Finance, PT Maestro Prima Finance, PT JA Mitsui Leasing Indonesia, PT Magna Finance, PT Surya Nordfinans dan  PT Arthabuana Margausaha Finance. Pun lima multifinance yang usahanya dibekukan OJK pada 2018 yakni PT Asia Multidana, PT Capital Link Finance, PT PANN Pembiayaan Maritim,  PT Kembang 88 Multifinance dan PT SNP Finance.

Bagaimana kinerja multifinance? Data OJK menunjukkan, total pembiayaan hanya tumbuh 6,08% dari Rp395,19 triliun per Maret 2017 menjadi Rp419,20 triliun per Maret 2018. Pertumbuhan itu menipis dari 6,39% pada bulan sebelumnya. Inilah perinciannya. Pembiayaan investasi naik paling tinggi 12,66% dari Rp110,11 triliun menjadi Rp124,05 triliun dengan kontribusi 29,59% dari total pembiayaan Rp419,20 triliun.

Pembiayaan multiguna juga naik 7,24% dari Rp229,30 triliun menjadi Rp245,90 triliun dengan kontribusi tertinggi 58,66%. Sayangnya, pertumbuhan pembiayaan modal kerja justru turun 2,14% dari Rp23,35 triliun menjadi Rp22,85 triliun dengan kontribusi 5,45%.

Pembiayaan lainnya berdasarkan perizinan OJK terbang tinggi 114,29% dari Rp63 miliar menjadi Rp135 miliar dengan kontribusi 0,03%. Sebaliknya, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah turun tipis 2,51% dari Rp32,37 triliun menjadi Rp26,27 triliun dengan kontribusi 6,27%. Itulah rapor multifinance yang kurang menggembirakan sampai dengan kuartal (triwulan) pertama 2018.

Lantas, pelajaran berharga apa saja dari kasus itu? Pertama, pastilah investor merasa kaget, heran, sekaligus kecewa karena SNP Finance pada awalnya mempunyai peringkat idA/stable dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo). Peringkat itu naik pada Maret 2018 dari sebelumnya peringkat idA-/stable pada Desember 2015-November 2017.

Namun, pada Mei 2018 peringkat SNP Finance dipangkas dua kali menjadi idCCC/credit watch negative, kemudian menjadi idSD/selective default. Penurunan peringkat itu sejalan dengan ketidakmampuan SNP Finance dalam membayar bunga MTN tersebut (Koran Kontan, 17 Mei 2018).

Lebih kecewa lagi ternyata laporan keuangan SNP Finance sudah diaudit oleh akuntan publik terkemuka, Deloitte Indonesia. Akhirnya, Kementerian Keuangan melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) memeriksa akuntan publik tersebut.

Sungguh, hal itu menjadi pelajaran berharga bagi investor untuk lebih bertindak hati-hati ke depan. Ekonomi yang sedang lesu saat ini pasti akan memengaruhi kinerja multifinance. Mengapa? Kondisi demikian juga menekan daya beli masyarakat sehingga akan mengganggu kelancaran angsuran konsumen kepada multifinance.

Oleh karena itu, investor suka tak suka wajib belajar membaca laporan keuangan multifinance, paling tidak periode 31 Desember 2017. Sudah semestinya laporan keuangan itu terbit paling lambat tiga bulan setelah periode pelaporan, yakni akhir Maret 2018. Dengan demikian, investor dapat mengetahui kondisi keuangan SNP Finance lebih awal, jauh sebelum gagal bayar terjadi.

Kedua, untunglah, kasus tersebut tidak memiliki potensi risiko sistemik sehingga tidak mengganggu industri multifinance nasional. Hal itu dapat dimengerti karena memang SNP Finance tidak termasuk multifinance sistemik. Selama ini OJK belum pernah mengumumkan daftar multifinance sistemik. Namun, kasus itu juga menjadi pelajaran berharga bagi OJK untuk lebih selektif dalam memberikan izin bagi multifinance dalam menerbitkan surat utang.

Ketiga, meski kasus SNP Finance tidak membawa potensi risiko sistemik bagi industri multifinance nasional, ternyata membawa potensi risiko bagi beberapa bank sebagai kreditur. Inilah 14 bank yang merupakan kreditur SNP Finance, yakni Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA), Bank Panin, Bank Resona Perdania, Bank J-Trust, Bank Nusantara Parahyangan, Bank Victoria, Bank China Trust, Bank Internasional Nobu, Bank Woori Saudara, Bank BJB, Bank Sinarmas, Bank Capital, dan Bank Ganesha.

Kemungkinan besar kredit yang telah terkucurkan ke SNP Finance itu terancam menjadi kredit bermasalah (non performing loan atau NPL) bagi bank tersebut. Padahal, total kredit itu mencapai Rp2,22 triliun, dan Bank Mandiri menjadi bank penyalur kredit paling tinggi, yakni Rp1,4 triliun. Apa akibatnya? NPL akan merangkak naik. Jangan lupa, NPL tinggi akan menaikkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang akan menggerus modal. Ujung-ujungnya, itu semua akan menekan laba tahun berjalan.

Dengan demikian, kasus itu akan membuat bank makin selektif dalam menyalurkan kredit kepada multifinance. Padahal, menjelang dan saat Idulfitri, industri pembiayaan nasional membutuhkan tambahan modal, mengingat penjualan mobil atau sepeda motor akan meningkat signifikan.

Namun, ingat pula bahwa pasca-Lebaran kemungkinan besar NPL multifinance akan makin mekar. Mengapa? Angsuran bulanan akan tertekan habis oleh biaya merayakan Lebaran yang bisa menabrak pos-pos anggaran rumah tangga konsumen. Ketika kewajiban itu tidak terpenuhi, maka potensi risiko kenaikan NPL akan menjadi kenyataan. Tegasnya, hal ini merupakan peringatan dini bagi mutifinance untuk makin hati-hati dalam menyalurkan pembiayaan multiguna, khususnya mobil dan sepeda motor.

Keempat, untuk itu, mau tak mau multifinance wajib menaikkan tingkat efisiensi. Adapun, sampai dengan kuartal pertama 2018, tingkat efisiensi yang tersurat pada rasio beban (biaya) operasional terhadap pendapatan operasional (BO/PO) mengalami kenaikan dari 90,48% per Maret 2017 menjadi 92,34% per Maret 2018. Angka itu jauh di atas ambang batas 70%-80%, yang mengandung arti multifinance belum efisien. Padahal, efisiensi yang tinggi akan menjadi senjata ampuh dalam menghadapi persaingan yang makin sengit saat ini. Bahkan, hal itu menjadi kunci utama dalam menghimpun laba tinggi.

Kelima, untuk mengatasi gagal bayar SNP Finance, ada beberapa opsi. Opsi pertama, amat diharapkan grupnya Columbia mampu menyuntikkan dana segar ke SNP Finance. Namun, hal itu kemungkinan besar sulit dilakukan. Opsi kedua, bank papan atas, seperti empat bank pemerintah (Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Tabungan Negara (BTN) serta BCA, sangat diharapkan dapat melakukan akuisisi terhadap SNP Finance. Namun, hal ini membutuhkan waktu cukup lama.

Opsi ketiga, seperti kredit perbankan yang macet, surat utang itu sejatinya dapat dilakukan restrukturisasi dengan memperpanjang tenor pembayaran bunga. Nah, opsi inilah yang paling strategis untuk dilaksanakan.

Sesungguhnya, kasus itu juga menjadi peringatan bagi OJK untuk segera mendorong multifinance agar melakukan merger atau akuisisi. Hal itu penting dan mendesak untuk dilakukan demi mengurangi jumlah multifinance sekaligus mempermudah pengawasan. Makin sedikit multifinance, makin efektif bagi OJK untuk mengawasi multifinance.

Selain itu, OJK dituntut untuk melakukan sosialisasi dan edukasi tentang investasi, baik dari sisi madu (manfaat) maupun racun (potensi kerugian). Hal ini bertujuan menaikkan tingkat literasi keuangan (financial literacy) dan inklusi keuangan (financial inclusion). Tingkat melek keuangan mencapai 29,66% pada 2016, meningkat dari 21,84% pada 2013. Artinya, dari 100 orang di Indonesia, baru sekitar 30 orang yang telah memiliki literasi keuangan. Sementara itu, tingkat inklusi keuangan mencapai 67,82% pada 2016, naik dari 59,74% pada 2013.

Literasi keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan untuk mencapai kesejahteraan. Inklusi keuangan adalah ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Keenam, kini saatnya bagi pemerintah untuk membentuk lembaga perlindungan investor di pasar modal seperti halnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menjamin simpanan di industri perbankan nasional. Mengapa? Karena, selama ini investasi di pasar modal tidak ada lembaga pemerintah yang menjamin. Padahal, sudah seharusnya kepentingan investor terlindungi. Perlindungan itu akan membuat pasar modal lebih bergairah lagi ke depan.(*)

Related Posts

News Update

Top News