Mencermati Pelambatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Mencermati Pelambatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Oleh Ryan Kiryanto

 
DALAM laporan terbaru Bank Dunia, Indonesia Economic Quarterly (IEQ) edisi Juli 2015, disebutkan meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara eksportir komoditas lainnya, namun melemahnya pertumbuhan investasi jangka panjang dan belanja konsumen mengakibatkan penurunan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).

Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diprediksi 4,7%, melemah dari estimasi sebelumnya yang 5,2%. Pertumbuhan 4,7% di kuartal pertama 2015 merupakan tingkat pertumbuhan paling lambat sejak 2009. Laporan Bank Dunia tersebut membahas berbagai opsi kebijakan untuk menghasilkan pertumbuhan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Di mata Bank Dunia, kondisi kurang mendukung seperti rendahnya harga komoditas dan melemahnya pertumbuhan investasi terus menekan sehingga ekonomi bergerak lamban. Namun Indonesia dapat bertindak cepat dengan meningkatkan belanja infrastruktur yang berkualitas selama tetap menjaga defisit fiskal dalam batasan 3% dari PDB.

Di samping itu perbaikan infrastruktur akan mengurangi biaya logistik dan harga berbagai barang dan jasa, juga mendorong pertumbuhan ekonomi.  Dari sisi pengeluaran, Bank Dunia menekankan pentingnya menghilangkan hambatan-hambatan pembelanjaan modal dimana anggarannya ditargetkan meningkat hingga dua kali lipat.

Sementara dari sisi penerimaan, pendapatan pajak ditargetkan meningkat hingga 30%, namun ternyata hingga bulan Mei 2015  lalu justru turun 1,3%, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Upaya memperkenalkan pelaporan pajak secara elektronik dan reformasi lainnya dinilai positif, namun lebih banyak lagi upaya diperlukan guna meningkatkan penerimaan pajak yang dapat menolong kondisi fiskal jangka menengah.

Seperti halnya negara berpendapatan menengah lainnya, perekonomian Indonesia masih menyesuaikan diri dengan penurunan tajam harga komoditas dan prospek normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (kenaikan Fed Fund Rate/FFR). Hal ini telah mengakibatkan defisit neraca transaksi berjalan, mengurangi pendapatan bagi perusahaan komoditas, dan memperlambat investasi swasta.

Investasi tetap berkontribusi sebesar 1,4% untuk pertumbuhan PDB (yoy) pada kuartal pertama 2015 – atau separuh dari rata-rata kontribusinya pada tahun 2010. Investasi diharapkan akan meningkat pada paruh kedua 2015, tapi jumlahnya tidak akan setinggi prediksi sebelumnya, akibat pembelanjaan anggaran pemerintah yang diperkirakan lebih rendah untuk tahun 2015.

Bank Dunia juga memberikan penilaian terhadap pondasi makroekonomi Indonesia yang baik sehingga berhasil mencegah merosotnya pertumbuhan secara tajam akibat jatuhnya harga dan permintaan komoditas, sebagaimana dialami negara-negara eksportir komoditas lainnya seperti Brazil, Afrika Selatan, Chile dan Peru.

Dalam hal ini Indonesia tetap mampu tumbuh dengan laju lebih cepat. Namun untuk memacu pertumbuhan lebih tinggi, dibutuhkan reformasi fiskal secara serius guna peningkatan pendapatan dan belanja anggaran yang lebih baik. Juga diperlukan perbaikan kebijakan-kebijakan yang mampu memperbaiki persaingan, perdagangan, dan investasi swasta.

Kebijakan pemerintah guna mengurangi inflasi harga pangan juga dapat memperkuat kepercayaan konsumen. Maklum, pertumbuhan yang terus melambat telah mempengaruhi belanja konsumen, yang hanya tumbuh 4,7% (yoy) dalam kuartal pertama, dibandingkan rata-rata pertumbuhan 5,3% tahun lalu.

Menurunnya data penjualan sepeda motor dan kendaraan lainnya menunjukkan belanja konsumen juga melambat pada kuartal kedua. Beruntung konsumsi swasta masih mampu menyumbang 55% terhadap jumlah pengeluaran PDB.

Namun melemahnya permintaan konsumen menyebabkan kontraksi impor, yang turun 14,4% (yoy) pada kuartal pertama.  Tingkat ekspor –baik komoditas maupun manufaktur– juga turun, sebesar 13%, karena permintaan yang melemah dari Tiongkok dan negara tetangga di Asia Tenggara.

Dari pandangan umum Bank Dunia, dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini. Pertama, proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,7% untuk tahun 2015, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,2% karena pertumbuhan output riil melambat menjadi 4,7% tahun-ke-tahun pada kuartal pertama 2015, laju pertumbuhan paling lambat sejak 2009.

Kedua, investasi tetap yang menurun serta melemahnya konsumsi masyarakat belakangan ini telah menurunkan pertumbuhan PDB Indonesia. Namun pertumbuhan Indonesia masih relatif tangguh dibanding negara-negara lain yang mengekspor komoditas ke Tiongkok, seperti Brasil dan Afrika Selatan. Investasi tetap memberi kontribusi 1,4% kepada pertumbuhan PDB tahun-ke-tahun pada kuartal pertama 2015 – atau setengah dari rata-rata kontribusi per tahun selama 2010-2012.

Ketiga, konsumsi masyarakat hanya tumbuh 4,7% (yoy) pada kuartal pertama, dibandingkan dengan rata-rata tingkat pertumbuhan 5,3% tahun lalu. Konsumsi masyarakat merupakan 55% sumber total belanja PDB dan berdampak besar pada pertumbuhan.

Keempat, melemahnya laju pertumbuhan telah berimbas pada lesunya pembukaan lapangan kerja, dengan tingkat pertumbuhan tenaga kerja yang hanya cukup untuk menyerap peningkatan populasi usia kerja saja. Namun demikian Indonesia berada dalam posisi yang baik untuk merespon.

Kelima, Indonesia dapat menaikkan defisit belanja, namun tetap dalam batasan aturan fiskal sebesar 3% dari PDB, agar bisa meningkatkan belanja proyek-proyek infrastruktur yang menjadi prioritas. Pertumbuhan yang terus berjalan lambat, disertai menurunnya harga minyak dunia, turut mempersempit defisit transaksi berjalan (DTB) menjadi 1,8% dari PDB pada kuartal pertama.

Sebenarnya, setali tiga uang dengan ramalam Bank Dunia, jauh-jauh hari sebelumnya Bank Pembangunan Asia (ADB) juga telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,5% menjadi 5,0% atau dalam rentang 4,8%-5,2% pada 2015.

Penurunan tersebut disebabkan tiga hal, yakni lambannya realisasi program-program pemerintah, tertundanya dampak reformasi struktural ekonomi Indonesia, dan keberlanjutan pelambatan ekonomi global.

Menurut ADB, stimulus dari pemerintah terhadap perekonomian tidak akan sesuai dengan perkiraan sebelumnya, karena tertundanya eksekusi belanja pemerintah dan potensi shortfall (selisih antara target dan realisasi) penerimaan pajak yang lebih tinggi dari perkiraan semula.

ADB mengakui lambannya eksekusi belanja modal dari pemerintah pada awal 2015, telah membuat capaian pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015 di bawah ekspektasi yakni 4,71%. Maka, ADB memperkirakan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II masih akan di bawah 5,0%, namun perlahan naik pada triwulan III dan IV karena stimulus dari realisasi belanja pemerintah.

Sementara untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp1.294,25 triliun, ADB meyakini potensi shortfall masih akan ada. Namun, jika pemerintah melakukan terobosan, baik dalam infrastruktur teknologi dan kebijakan, potensi shortfall bisa saja menyempit.

Respon kebijakan yang tepat

Oleh karena itu, pemerintah harus segera merespon pandangan Bank Dunia dan ADB tersebut dengan lebih aktif membelanjakan anggaran ke infrastruktur guna menciptakan lapangan kerja lebih luas sekaligus menjaga daya beli masyarakat. Ini agar tingkat permintaan agregat dapat dijaga sehingga level produksi bisa dipertahankan dan perusahaan tidak mengurangi tenaga kerjanya.

Paralel dengan itu, Bank Indonesia (BI) juga diharapkan lebih akomodatif, dalam artian secara bertahap dan terukur melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial seperti relaksasi kebijakan loan to value (LTV) untuk kredit properti dan penurunan besaran uang muka untuk kredit kendaraan bermotor.

Perubahan beleid dari loan to deposit ratio (LDR) dengan batas atas 92% menjadi loan to funding ratio (LFR) dengan batas atas 94% juga memberikan stimulus tambahan bagi sektor perbankan untuk lebih ekspansif. Dalam jangka pendek memang belum terlihat dampaknya. Namun dalam jangka menengah-panjang, dampak signifikannya baru akan terlihat.

Pelonggaran kebijakan moneter itu diperlukan lantaran pertumbuhan kredit melambat (tahun ini diproyeksikan hanya tumbuh 13% saja), sehingga aktivitas ekonomi melemah. Kalangan pengusaha mengeluhkan tingginya suku bunga yang disebabkan kenaikan inflasi (posisi sekarang 7,3%) dipicu oleh lonjakan harga bensin dan solar sejak Maret lalu.

Jika BI bersikap lebih akomodatif, yang sudah dibuktikan dengan tetap mempertahankan level BI Rate 7,5% pada Rapat Dewan Gubernur BI (RDG-BI) 14 Juli 2015 lalu, dapat memberikan signal positif bagi investor di tengah proyeksi pertumbuhan investasi yang tetap meningkat pada semester kedua tahun ini, meski tidak setinggi yang diproyeksikan sebelumnya akibat belanja negara yang lebih rendah dari yang diharapkan dan meningkatnya investasi swasta.

Pendek kata, kebijakan moneter dan fiskal harus sinergis dan pro-sektor riil untuk memberikan ruang gerak lebih leluasa bagi pelaku usaha di tengah meningkatnya risiko utama terhadap prospek ke depan sebagai dampak dari harga komoditas yang tetap rendah dan penurunan lain terkait aktivitas ekonomi cenderung memburuk. ***

 

Penulis adalah Chief Economist BNI

Related Posts

News Update

Top News