LPS, Lembaga “Pelopor” Penjaminan Dana Nasabah

LPS, Lembaga “Pelopor” Penjaminan Dana Nasabah

LPS berperan maksimal, tidak hanya dalam menjamin dana nasabah, tetapi juga menjaga stabilitas perbankan nasional. Kini, tak hanya nasabah bank yang ingin dilindungi, tetapi juga pemegang polis asuransi dan investor pasar modal. Dwitya Putera.

Jakarta – Industri perbankan sampai saat ini masih menjadi industri yang menopang perekonomian nasional dan sangat mempengaruhi stabilitas ekonomi. Apa yang terjadi di industri ini berpotensi mempengaruhi sektor lain. Pengalaman krisis 1998 menjadi buktinya. Ketika krisis moneter datang dan memukul industri perbankan, perekonomian dalam negeri merosot tajam. Menurunnya tingkat kepercayaan kepada perbankan membuat masyarakat emoh menyimpan dananya di bank. Akibatnya, likuiditas menipis dan pembiayaan terkoreksi. Kondisi tersebut membuat ekonomi pada saat itu nyaris tak bergerak.

Ditengah keringnya likuiditas bank,  terjadi bank rush. Masyarakat yang kehilangan kepercayaan kepada bank dan tak mau dananya hilang karena belum adanya jaminan dari pemerintah, ramai-ramai menarik dananya. Beruntung, pemerintah kala itu cepat tanggap dan menelurkan beberapa kebijakan dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Salah satunya  adalah kebijakan pemberian jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee).

Berawal dari sana, lahir sebuah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kehadiran LPS dipayungi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang pembentukan LPS sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Kemudian pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Undang-undang ini berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal itulah LPS resmi beroperasi.

Dalam perkembangannya, tugas dan fungsi LPS tak sesederhana namanya sebagai “penjamin”. LPS tak hanya berperan sebagai lembaga yang menjamin dana masyarakat di bank, tetapi juga ikut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan nasional.

Secara kelembagaan, LPS tumbuh semakin kuat. Hingga kini, total aset LPS sudah menyentuh Rp60 triliun. Plt Kepala LPS, Fauzi Ichsan mengatakan, dengan total aset tersebut, LPS sanggup menangani dua bank yang gagal.”Kalo 1-2 bank ada yang gagal, kita masih siap,” demikian seloroh Fauzi.

Artinya nasabah tak perlu khawatir. Selagi aset LPS besar, asal bunga yang didapat nasabah dari menabung di bank tidak melebihi ketentuan syarat penjaminan, dana nasabah terjamin aman meski ada bank kolaps.

Kini, LPS menjamin dana nasabah bank hingga maksimal Rp2 miliar. Berdasarkan data LPS, hingga Juni 2015 simpanan dengan nilai sampai dengan Rp2 miliar jumlahnya mencapai Rp1.880,62 triliun dengan jumlah rekening mencapai 171,69 juta rekening. Pada periode tersebut, peserta penjaminan bank umum jumlahnya mencapai 118 bank, yang terdiri dari 106 bank umum konvensional, dan 12 bank umum syariah.
Dalam sejarah penjaminan di Indonesia, LPS boleh dibilang menjadi “pelopor” sebuah lembaga penjamin dana nasabah. Sepak terjang dan keberhasilannya menjaga stabilitas sistem perbankan dan menangani “bank sakit” membuat LPS patut diacungi jempol. LPS kemudian menjadi inspirasi dari sektor keuangan lainnya. Pasca berdirinya LPS, kini pasar modal juga memiliki lembaga penjaminan. Industri pasar modal menelurkan lembaga atau badan hukum sejenis LPS yang berfungsi melindungi dana nasabah yakni PT Penyelenggara Program Perlindungan Investor Efek Indonesia (PPPIEI).Seperti halnya LPS, PPPIEI juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor akan industri pasar modal, sehingga bisa menopang perekonomian nasional.

Tak hanya pasar modal, sebentar lagi fungsi lembaga penjaminan juga akan dirasakan oleh pemegang polis asuransi. Bahkan, LPS sudah sering disebut-sebut sebagai lembaga yang nantinya melaksanakan program penjaminan di asuransi (Lembaga penjamin polis/LPP). Pasalnya, UU Perasuransian yang baru secara tegas mengamanatkan untuk segera di bentuk LPP. “UU asuransi yang baru dan terbit tahun lalu mengamanatkan bahwa dalam waktu tiga tahun perusahaan asuransi harus menjadi anggota dari lembaga penjaminan polis atau idenya seperti LPS” terang Julian Noor, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI).

Julian menambahkan, bahwa LPP memang sangat dibutuhkan. “Jika ada lembaga seperti LPS di industri asuransi, ketika ada perusahaan asuransi yang mengalami masalah, ada lembaga yang bertanggung jawab tentang bagaimana nasib nasabahnya” imbuh Julian lagi.

Sayangnya, baik Julian maupun regulator hingga saat ini belum bisa memastikan, apakah lembaga penjamin yang akan menjaga nasib nasabah asuransi ini akan menyatu dengan LPS atau terpisah.” Jadi, kalau dilihat timingnya, sebelum 3 tahun akan ada UU yang menjadi dasar pendirian lembaga penjamin polis. Nah apakah nantinya akan menjadi satu dengan LPS atau tidak, UU yang akan menentukan nanti. Untuk lebih detailnya kita akan bahas lagi dengan OJK dan kementrian keuangan saat UU tersebut di garap,” pungkas Julian kepada Infobank beberapa waktu lalu.

Sejatinya, dinegara manapun peran lembaga penjaminan sangat krusial. Terlebih disaat terjadi gejolak ekonomi yang menurunkan kepercayaan masyarakat. Di saat-saat genting seperti ini, LPS mampu memberikan rasa aman dan tenang kepada masyarakat bahwa dananya tak akan hilang. Ketenangan itu yang kini telah dirasakan nasabah bank dan investor pasar modal. Dan ketenangan yang sama kini dibutuhkan oleh pemegang polis asuransi.  (*)

Related Posts

News Update

Top News