Keuangan Syariah yang Belum Rasional

Keuangan Syariah yang Belum Rasional

Di dunia, pilihan ekonomi syariah sudah lebih rasional. Kini, hanya 30% saja yang memilih bank syariah berdasarkan sentimen agama. Eko B. Supriyanto

Jakarta–Lembaga keuangan syariah terus berkembang. Tak hanya produknya, tapi juga penyebarannya. Jumlah pemainnya meningkat, perannya juga membesar. Tak diragukan lagi kalau pasar lembaga keuangan syariah sangat besar di Indonesia—karena masyarakat dengan penduduk muslimnya terbesar di dunia.

Awalnya hanya perbankan syariah, kini pun sudah ada produk asuransi, multifinance, dan sekuritas syariah. Produknya pun bermacam-macam sesuai dengan keinginan masyarakat. Kegairahan syariah juga terus berkembang. Terakhir ramai mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dinilai tidak sesuai dengan syariah oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pertanyaannya, apakah sistem syariah ini sebuah jawaban dari banyak pertanyaan nasabah, terutama menyangkut kualitas layanan? Selama ini sistem syariah merupakan alternatif yang diyakini tahan krisis dan meneduhkan nasabah karena halal sesuai dengan syariah para umat. Produk syariah sering kali dilihat dari sisi halal dan haram semata. Akibatnya, cara berjualannya pun dengan pendekatan yang halal dan haram pula.

Lihat saja, untuk memenangkan persaingan dengan perbankan konvensional, 10 tahun lalu, MUI pun memukul telak perbankan konvensional yang menyebut bunga bank riba. Hasilnya memang pertumbuhan perbankan syariah pada lima tahun pertama senantiasa lebih tinggi daripada perbankan konvensional.

Perannya pun makin meningkat. Tak hanya perbankan. Sektor asuransi juga sama. Produk-produk investasi syariah mulai beragam. Jadi, alternatif pembiayaan dan investasi syariah sejak awal lembaga perbankan syariah diperkenalkan (1992) sudah berkembang. Namun, dari sisi jumlah lembaga keuangan syariah, terutama perbankan, mulai terjadi penurunan. Apakah ini karena sudah banyak bank yang mendirikan unit syariah atau bank syariah sendiri, atau karena pasarnya mendekati jenuh?

Harusnya dengan perkembangan Islam di Indonesia—dalam hal ini banyak orang yang makin sadar tentang syariah—makin besar peran perbankan syariah atau produk keuangan syariah. Namun, yang terjadi produk keuangan syariah tumbuh, produk konvensional juga tumbuh. Padahal, dengan muslim terbesar tidak otomatis ekonominya juga tumbuh segaris lurus.

Banyak hal yang sudah dikerjakan oleh lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan syariah. Sebut saja pembukaan unit syariah dengan ekspansi kantor dan jaringan kantor, berbagai program edukasi dan sosialisasi, peningkatan kualitas layanan, serta produk yang beragam. Hal-hal itulah yang membuat perkembangan perbankan syariah terus meningkat dari tahun ke tahun.

Kalangan perbankan syariah memperkirakan, pada 10 tahun yang akan datang pangsa pasar perbankan syariah akan meningkat menjadi 15%-20%. Porsi pasar ini tentu akan memberi tantangan bagi pelaku perbankan syariah sebab hal itu akan membutuhkan tenaga yang tidak kecil. Apalagi, selama 10 tahun terakhir porsi pasarnya sulit mencapai 5%.

Tidak hanya itu, meskipun mayoritas penduduk Indonesia ialah muslim, hal itu ternyata tidak secara langsung bisa membuat porsi pasar perbankan syariah meningkat tajam. Bahkan, secara keseluruhan di dunia, menurut survei World Bank, orang menggunakan jasa keuangan syariah tidak segaris lurus dengan sentimen keagamaan. Hanya 30% yang memilih bank syariah berdasarkan sentimen agama. Di dunia, pilihan ekonomi syariah sudah lebih rasional.

Pada akhirnya, keuangan syariah ini juga memerhatikan karakter perkembangan. Perkembangan ekonomi syariah di Timur Tengah dan Malaysia lebih banyak didorong oleh pemerintahnya. Dana-dana pemerintah lebih banyak disimpan di perbankan atau lembaga keuangan syariah. Di Indonesia lebih banyak di-drive oleh keinginan pasar.

Ada berbagai catatan yang harus dilakukan kalangan perbankan syariah. Satu, harus punya semangat kebersamaan dalam memajukan perbankan syariah, artinya tidak sendiri-sendiri dalam melakukan sosialisasi.

Dua, harus mengembangkan inovasi produk dengan infrastruktur teknologi informasi yang memadai sehingga memungkinkan munculnya produk-produk dan layanan sesuai dengan kebutuhan nasabah.

Tiga, kalangan perbankan syariah tidak hanya melihat perbankan syariah dari sisi halal dan haram. Namun, lebih mengutamakan kepentingan komersial dan kualitas pelayanan. Artinya, pendekatan emosial menjadi tidak terdepan lagi, tapi lebih mengutamakan kebutuhan nasabah yang menguntungkan.

Empat, pengembangan sumber daya manusia (SDM) syariah yang lebih profesional. Saat ini terjadi kesenjangan antara pertumbuhan keuangan syariah dan SDM yang mumpuni.

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia kini sudah memasuki babak yang menentukan. Mulai melambatnya laju pertumbuhan perbankan syariah dibandingkan dengan laju perbankan konvensional tidak dapat dikatakan bahwa perbankan syariah memasuki babak jenuh. Namun, lebih pada filosofi karena sistem lama konvensional yang selama ini menjadi induk, tentu sistem syariah menjadi subsistem.

Jika demikian, selain terus meminta dukungan pihak otoritas, terutama menyangkut edukasi dan sosialisasi—dan karena perkembangan syariah di Indonesia didorong oleh permintaan—produk dan layanan harus premium dengan terus memerhatikan rasionalitas nasabah atau masyarakat.

Pendekatan halal dan haram sudah selesai dan kini pendekatan pada keinginan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan karakter awal tumbuhnya ekonomi syariah. Kendati demikian, keuangan syariah ini juga sedang mendapat ujian yang berat berupa meredupnya ekonomi nasional. Apakah non performing financing (NPF) perbankan syariah akan menahan laju bank-bank dengan sistem bagi hasil ini?

 

Related Posts

News Update

Top News